Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manusia-manusia 10 April (3)

16 April 2019   07:00 Diperbarui: 16 April 2019   07:20 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Nyoh wes, obok-oboken maneh (Silakan saja, diobok-obok lagi) !!!" canda Papa.

Kegemaran beliau adalah berolahraga dan makan pisang; dengan segala aneka turunan resepnya (mulai dari pisang buah, pisang goreng, kripik pisang, sale pisang, gethuk pisang, dll). Selain itu, beliau suka membaca, mengoleksi buku-buku dan juga merekam kenangan perjalanan hidup dalam bentuk foto-foto.

Yah... hobi fotografinya menghasilkan puluhan album yang memenuhi sebuah lemari bersama tumpukan arsip-arsip dokumen penting yang tertata rapi. Mulai dari album pernikahan (kalau khusus yang ini, bukan hasil karya beliau lah... kan beliau jadi pemeran utamanya, hehehe...), album aktifitas masa kecilku bersama adik-adik, berurutan mulai lahir, usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, dst. Bahkan foto hari pertamaku bekerja juga tak luput dari jepretan beliau. Album perjalanan rekreasi keluarga, album pemakaman mbah kakung dan mbah putri / mbah rayi, album acara Natal dan Paskah, angkat sidi dan kegiatan-kegiatan sekolah SMK YBPK Pare juga menjadi karya koleksinya.

Pernah sekali waktu aku bertanya, "Buat apa album foto sebanyak ini ? Nyusuh thok Papa iki !!!"

Dengan mimik serius, beliau menjawab, "Kita hidup di dunia ini hanya sekali, peristiwa-peristiwa penting tak bisa diulang. Kalau ada foto, itu adalah rekaman sejarah yang menjadi bukti otentik. Selembar foto bisa bercerita banyak hal tanpa kau harus membuka mulut..."

Dan demikianlah, bercerita banyak hal tanpa harus membuka mulut seolah virus yang ditularkan beliau padaku. Bukan dalam bentuk foto, karena bagiku kamera di jaman itu ribet banget. Mengganti rol film, mengatur fokus lensa, dsb. Bercerita banyak hal tanpa harus membuka mulut dalam bentuk yang sederhana, berupa coretan di kertas. Dan memang ada keasyikan tersendiri di sana, hingga tanpa sadar aku menjadi tukang nyusuh generasi kedua. Hahaha...

Dan gara-gara nyusuh (menyimpan barang dalam jumlah banyak) di sembarang tempat tanpa mau merapikan itulah, beliau jadi tahu, apa yang sedang terjadi, apa yang sedang kurasakan dan apa yang sedang kupergumulkan. Walaupun sudah berusaha kututup-tutupi, namun berat badan yang menyusut hingga 7 kg dalam seminggu, tak luput dari mata fotografer beliau. Ditambah buku diaryku yang serasa menjadi ember paling bocor sedunia. Hahaha...

Ketika aku masih berusaha memperjuangkan kisah cintaku, ketika aku masih ingin membangun harapan yang tersisa karena aku tidak mau itu menjadi kandas dan menyerpih lagi kesekian kalinya, ketika Bongsorejo dan Makassar menjadi dua tempat yang membuatku merasa "Mak Dhegh dan Mak Jlebh" dalam waktu bersamaan, di suatu sore yang mendung bercampur gerimis di teras depan rumah, beliau menghentikan aktivitas berkebunnya dan duduk mendampingi aku yang selonjoran menikmati aneka hijaunya tanaman yang beliau rawat.

"Papa lega, di kamarmu nggak ada pisau, silet, gunting atau benda tajam lainnya," pancing beliau mengawali percakapan waktu itu.

Aku menoleh, bingung menebak maksud kata- kata beliau, "Kenapa, Pa ?"

" Ya takut kalau kamu menirukan kasus-kasus pembunuhan di cerita Detektif Conan itu tho..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun