Kebahagiaan adalah ketika dari jendela rumah saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba di sekolah. Ada Rizki di sana, dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat saya masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.
Saat kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Ia masih malu-malu.Â
Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.
Ia kembali tak tersentuh.
Namun, saya tahu, hari-hari esok, ia akan melemparkan bola-bola kertasnya kepada saya. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?"
Ya, sekarang saya tahu, "When we do the best we can, we never know what miracle is wrought in our life, or in the life of another."
Kisah Ayu
Iman, anak bandel ini tidak mau terkungkung dengan cara belajar konvensional. Membosankan, katanya. Setiap malam ia datang ke rumah dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Herannya, setiap saya memberikan buku untuk dibaca atau soal untuk dikerjakan, ia akan menghilang hanya sekejap setelah saya memalingkan pandangan. Namun, bila saya sedang bercerita, tentang apa saja, mulai dongeng dari negeri antah berantah, atau tentang tata surya, atau tentang makhluk apa sebenarnya demokrasi itu, ia akan mendengarkan dengan mata berbinar. Sering kali ia belum mau pulang meskipun saya sudah selesai berkisah.
Begitulah, aku jatuh cinta setengah mati. Bila aku hanya boleh mengajar di satu sekolah, aku ingin mengajar di sekolahlah tempat Iman belajar. Bila aku hanya boleh mengajar di satu kelas, aku ingin mengajar di kelas tempat Iman belajar. Dan, bila aku hanya noleh mengajar satu anak, aku ingin mengajar Iman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI