Kisah perjalananku di Dieng Plateau. Tidak hanya jalan-jalan ... Namun, aku menemukan banyak hikmah yang dapat dijadikan bahan renungan.
Dini hari, aku terbangun karena selimut tipis bergeser hingga jatuh ke lantai. Kalau di Jakarta sih tak apa-apa ... Tapi ini kawasan Dataran Tinggi Dieng akhir tahun yang super dingin. Negeri di atas awan, begitulah julukan untuk Dieng Plateau. Aku coba cek di layar HP, tertulis 12 derajat celcius. Masyaallah ... Sungguh nikmat rasanya menggigil kedinginan. Tempatku menginap ini berada di Desa Sembungan, dekat dengan Bukit Sikunir dan Telaga Cebong sebuah kawah purba seluas 12 hektar. Desa ini dinobatkan sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa berkisar 2.300 m.dpl.
Aku paksakan untuk turun dari ranjang dan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Ini kesempatan emas yang dihadiahkan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pemberi Karunia, agar hamba-Nya bersujud. Allah Maha Sempurna dalam segala ciptaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang sanggup menemukan celah kekurangan di dalam penciptaan-Nya. Jika celah kekurangan sekecil apa pun, niscaya kehidupan ini menjadi hilang keseimbangan dan keharmonisannya yang berujung pada kebinasaan semua makhluk. Lain halnya manusia yang kemampuannya sangat lemah dan terbatas.
Kemarin sore, aku bersama Teteh, si bungsu yang hobi menjelajah alam tiba di Dieng Plateau. Kabut tebal menyambut kedatangan kami. Waaahhh ... Sungguh luar biasa pemandangannya serba putih, hingga jarak pandang tidak lebih dari 2 meter. Semula aku yang menyetir mobil dari Cirebon hingga sampai di sebuah tanjakan menuju arah Desa Sembungan. Namun minus dan plus serta silindris mataku tak bersahabat untuk kondisi cuaca seperti itu. Akhirnya suamiku mengambil alih kemudi hingga tiba di penginapan dengan selamat. Alhamdulillah ...
Tak lama kemudian, gerimis dan hujan turun. Sementara kami menghangatkan badan dengan menyeruput minuman hangat sambil menikmati pemandangan serba putih dari balik jendela kamar. Tak lama kumandang adzan ashar terdengar. Kami tadi sudah shalat dzuhur-ashar jamak takdim karena sedang menjadi musafir. Menjelang maghrib, langit berangsur cerah. Matahari sore malu-malu menampakan dirinya. Aku bergegas keluar kamar dan mengabadikan momen indah ini.
Langit diciptakan tujuh lapis untuk seimbang (muthabaqah), bukan untuk menjadi kacau. Demikian pula manusia diciptakan berbeda dan beragam untuk bersatu dan saling melengkapi, bukan untuk pecah. Tidak ada ciptaan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji yang cacat. Langit pun rata tanpa retakan walau sedikit. Apabila kemudian ada yang terlihat cacat, maka cacat itu ada pada yang melihat, bukan pada yang dilihat.
Allah berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghias langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang." (QS. Al-Hijr: 16-18).
Pastinya manusia tidak akan sanggup menjangkau seluruh hakikat alam semesta, apa lagi menemukan kekurangan di dalam penciptaan mahkluk-makhluk Allah. Karena itu, selayaknya manusia menyadari kelemahan dirinya di hadapan Allah dan bersikap tunduk sepenuhnya mengikuti aturan-aturan-Nya. Mata hanya bisa melihat langit dua kali selanjutnya hati, qalbu kita yang harus melihat kebesaran Allah Yang Maha Suci lagi Maha Gagah di balik kesempurnaan ciptaan-Nya.
"Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun," telah Allah sampaikan dalam surah Qaaf ayat 6. Bukankah kita sangat paham, bahwa mata mempunyai keterbatasan. Ya ... Seperti kondisi mataku ini. Kacamata berlensa cukup tebal agar bisa melihat sedikit normal. Bisa membaca dan melihat lebih terang. Mata kita ini mempunyai keterbatasan juga dalam melihat realitas yang sebenarnya. Apa yang dilihat mata tidak bisa dijadikan sandaran kebenaran. Di luar sana masih banyak rahasia yang tersembunyi dari mata. Bahkan mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.