Manusia melalui tubuh dan jiwa ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta materi/fisik di kelilingnya dengan berbudaya, bermakna. Y.B. Mangunwijaya dalam buku Wastu Citra membahas topik sendi-sendi filsafat dan budaya bentuk arsitektur, termasuk ruang publik. Ia mengatakan bahwa manusia sejak jaman dahulu memiliki intuisi bagaimana kesederhaan, keindahan, kebenaran, merupakan kata-kata lain dari satu perkara. Kualitas bahasa arsitektur pertama-tama adalah perkara batin-dalam, ruh: yang semoga dapat kita bina sebening mungkin.
Kali ini penulis menjajal kawasan Cikini yang legendaris. Sekaligus mendatangi Taman Ismail Marzuki yang hampir rampung dalam proses revitalisasinya yang mengedepankan ruang publik. Senang rasanya bisa bernostalgia bersama suami ke TIM. Kangen juga nih nonton tayangan alam semesta di Planetarium. Semoga lekas selesai ya ...
Ruang publik hanya akan bermakna bagi jiwa dan juga fisik jika inti dari keberadaan ruang itu dapat memberikan rasa bahagia bagi penggunanya. Sangat mustahil terwujud ruang publik yang bermanfaat, bahkan bisa jadi ruang publik yang dibangun hanya kesia-siaan belaka. Aktifitas pengguna itulah yang memberi makna bagi keberadaan ruang publik.
Satu lagi kawasan ruang publik di kota Jakarta yang menarik untuk didatangi adalah Kota Tua. Pekan lalu aku sengaja naik Transjakarta jurusan Blok M - Kota untuk memantau progres revitalisasi kawasan bersejarah itu. Keren! Luar biasa konsepnya menjunjung nilai-nilai historis kawasan dan bangunan heritage  yang ada di sana. Juga semangat menjadikan kawasan yang  rendah emisi atau Low Emission Zone. Great job ...Â
Pengalaman penulis gowes santai bersama anak bungsu, Teteh di Kota Tua selengkapnya bisa baca di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H