Borobudur sedang heboh menjadi perbincangan para pencinta traveling. Ada yang menyoal tentang harga tiket, katanya akan sulit dijangkau jika dipatok tarif Rp.750.000,-. Tak luput juga berseliweran foto pengunjung Borobudur yang duduk di batu stupa dan dianggap melanggar peraturan.Â
Iya jelas sekali terlihat papan larangan duduk di batu stupa, tapi tetap ngeyel plus santai saja melakukannya. Tampaknya mereka tidak ambil pusing dengan akibat perbuatannya dapat merusak batu-batu stupa tersebut.
Pengalaman Berkunjung ke Borobudur
Aku pertama kali berkunjung ke Borobudur saat duduk di bangku SMA tahun 1987. Saat itu liburan sekolah, jadi suasana sangat ramai di Borobudur. Seingatku belum ada larangan untuk naik hingga ke puncak. Pengunjung bebas duduk-duduk di batu stupa dan berfoto. Sebagian besar berusaha juga memasukkan tangannya lewat sela-sela stupa untuk memegang patung yang ada di dalamnya.Â
Kunjungan kedua tahun 2006 bersama suami beserta 2 anakku, Kaka dan Mas yang masih duduk dibangku SD. Sengaja aku ajak mereka mengunjungi Borobudur karena ada salah satu materi pelajaran IPS yang menjelaskan tentang karya bangsa Indonesia yang tercatat sebagai salah satu dari 'Tujuh Keajaiban Dunia'.Â
Aku dan suami sewaktu kuliah di jurusan Teknik Arsitektur ITB juga mendapat matakuliah Sejarah dan Kritik Arsitektur. Salah satu topik menarik yang adalah tentang arsitektur Borobudur.
Nah .. Pada tahun 2017 Â aku berkunjung lagi untuk ketiga kalinya ke Borobudur bersama Teteh anak bungsuku. Saat itu misi kunjungan adalah mengenalkan siapa Arsitek Borobudur? Teteh penasaran dengan nama himpunan mahasiswa yaitu IMA-Gunadharma ITB. Kejadiannya tidak sengaja sih ... Waktu itu Teteh aku ajak main ke kampus ITB dan aku bilang mau ada ketemuan sama teman-teman AR89.Â
Ternyata Teteh menyimak obrolanku bersama teman-teman tentang keseruan saat Ospek Jurusan (OsJur) untuk menjadi anggota IMA-Gunadharma. Rasa penasaran siapa sih Gunadharma itu? Sampai dipilih menjadi nama himpunan?
Misteri Gunadharma sang perancang Borobudur telah aku tuliskan di Kompasiana pada bulan Desember 2020. Pembacanya lumayan sudah 1.800 orang.
Oya ... Aku ingat saat itu tiket masuk Borobudur Rp. 40.000,- untuk pengunjung dewasa dan Rp. 20.000,- untuk anak-anak. Sedangkan pengunjung mancanegara atau wisatawan asing dikenakan tarif 25 Dollar USA atau sekitar Rp. 260.000,-. Masih murah ya ... Kunjungan ketiga ini bukan waktu liburan sekolah, jadi suasananya relatif sepi. Malahan pengunjung domestik hanya aku dan Teteh, selebihnya adalah wisatawan asing.Â
Borobudur merupakan bangunan tangga bermahkota Stupa Utama. Ada dugaan, dahulu di dalamnya tersimpan patung Budha yang 'tidak selesai', sebagai lambang kesempurnaan. Artinya bentuk alam sempurna tidak ada manusia yang mengetahuinya. Di bawah Stupa Utama ada 3 undak-undak yang denahnya berbentuk lingkaran dan dihiasi sekelilingnya dengan stupa-stupa terbuka sebanyak 72.
Setelah itu ada 3 undak-undak yang denahnya bujur sangkar dan merupakan lorong-lorong yang dindingnya dihiasi penuh dengan ukiran-ukiran dari cerita kehidupan Budha.Â
Pada tiap sisi undakan terdapat gapura dan tangga. Pada jarak tertentu di undak-undak ini terdapat ceruk-ceruk yang berisi patung-patung Budha seluruhnya berjumlah 505. Uniknya setiap umpak dihiasi Budha yang sedang bersila dalam sikap yang berbeda-beda sesuai dengan kesempurnaan yang sedang dilambangkannya. Keren sekali ...
Berjumpa Kerabat Penulis Buku tentang Borobudur
Bangunan warisan budaya dunia ini telah dipugar sebanyak 2 kali, yaitu pertama pada tahun 1907-1911 oleh Theodoor Van Erp sedangkan pemugaran kedua pada tahun 1973 - 1983 oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO.Â
Bambang Siswoyo dan rekan telah menyusun laporannya dan dibukukan dengan judul 'Tinjauan Kembali Rekonstruksi Candi Borobudur' pada tahun 2013. Bambang Siswoyo usia 72 tahun telah purna tugas dari Balai Konservasi Borobudur. Buku ini menjadi sangat berharga karena memiliki jejak catatan sejarah dan teknis tentang pemugaran Borobudur.
Â
Cirebon, Solo, dan Yogyakarta. Bersyukur saat berkumpul dengan kerabat di Wates aku bisa berjumpa kerabat dari suamiku. Ternyata salah satunya adalah Bambang Siswoyo sang penulis buku fenomenal tersebut.Â
Lebaran tahun 1443 Hijriyah aku mudik keSenang sekali bisa berbincang santai mengenai pengalamannya bekerja dalam tim pemugaran Borobudur. Sayang buku beliau hanya aku lihat di etalase digital belum punya edisi cetaknya. Semoga bisa segera memilikinya.