Sekali lagi suamiku harus terbang ke Negeri Serambi Makkah. Ada proyek gedung yang harus ditinjau. Pesawat terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda.Â
Kali ini oleh-oleh foto keren dari suami adalah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Museum Tsunami Aceh, dan Masjid Rahmatullah Lampuuk.Â
Menilik sejarah saat Belanda menyerah Kesultanan Aceh, masjid ini menjadi benteng pertahanan. Juga untuk menyerang balik, namun Belanda menembakkan meriam ke atap masjid hingga terbakar. Pada tahun 1607 hingga 1636, Belanda membangun masjid ini dengan desain dari arsitek bernama Geritt Bruins. Gaya arsitektur yang dipilih adalah gaya Kebangkitan Mughal. Dengan atap berkubah besar warna hitam. Bahan bangunan pun didatangkan dari Belgia untuk kaca patri jendela, pintu kayu, dan lampu gantung perunggu. Tangga marmer dan lantai berasal dari Tiongkok. Bebatuan ada yang dikirim dari Belanda.
 Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi Kebesaran Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa. Terjangan tsunami tidak menghancurkannya. Tete[  berdiri kokoh, bahkan menjadi lokasi perlindungan masyarakat saat hampir semua bangunan luluh lantak. Subhanallah.
Satu lagi masjid saksi sejarah tsunami adalah Masjid Rahmatullah Lampuuk. Masjid yang terletak di Kabupaten Aceh Besar ini dibangun pada tahun 1990 hingga 1994. Nah ... Saat tsunami ternyata masjid ini tetap tegak berdiri.
Kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia telah dinyatakan dengan tidak runtuhnya kedua masjid tersebut. Rasanya sangat mendebarkan dan mengharukan. Hati ini pastilah bergetar dan makin meyakini bahwa bila Allah berkendak 'Kun fa ya kun'.
Namun di dalam bangunan masjid ada bagian yang dijadikan kenangan, betapa dahsyatnya tsunami tahun 2004. Bagian ini dibiarkan sebagaimana semula.
Tidak lengkap bila tak berkunjung ke Museum Tsunami Aceh yang dirancang oleh arsitek kenamaan Indonesia, Ridwan Kamil. Kini Kang Emil adalah Gubernur Jawa Barat. Dia saat kuliah di Arsitektur ITB adalah adik kelas kami. Suamiku angkatan AR88, aku AR89, sedangkan Kang Emil AR90. Ada kisah menarik saat mendesain gedung bersejarah ini. Dia menangis ... 'Tumpah air mata saya'. Sebabnya adalah Kang Emil harus berulang kali menonton video bencana tsunami yang menelan korban hingga 230.000 jiwa. Belum lagi kota yang rata tersapu air laut setinggi hingga 12 meter.Â
Kang Emil berharap museum ini menjadi pengingat bencana tsunami sekaligus menjadi tempat belajar mitigasi kebencanaan. Agar ketika ada lagi bencana serupa, kita dapat melakukan antisipasi, peringatan dini, dan penyelamatan diri.
Dinding museum didesain dengan motif tari Saman. Massa bangunan seperti kapal dan rumah tradisional Aceh dilengkapi kolam di halaman. Mengingatkan kepada air dan gelombang laut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H