Semalam aku membaca sebuah fiksi karangan Dian Yasmina Fajri  berjudul Bunga Untuk Wise. Cerita yang membuat emosiku terpancing ...Â
Bagaimana tidak ? Kisah itu mengangkat tema yang sensitif untuk hatiku ini. Entah mengapa ? Aku selalu merasa miris, sedih, bahkan marah bila membaca atau mendengar kisah tentang kekerasan terhadap perempuan. Apakah teman-teman kompasiana pun demikian ? Aku bukan korban KDRT. Namun aktivitasku bersama teman-teman di Fahmina Institute juga sebagai dosen di Institut Studi Islam Fahmina memberi pengalaman berharga terkait dengan isu kekerasan terhadap perempuan.Â
Kisah fiksi yang kubaca semalam membuatku  menuliskan komentar di http://www.facebook.com/dian.yasminafajri.9.Â
Inilah komentarku dan komentar beberapa teman yang makin menyemangati aku untuk berusaha membantu perempuan korban KDRT.Â
Dewi : fakultas matematika itb ? (mungkin maksudnya fakultas mipa ya Dian Yasmina Fajri) jadi penasaran ... jurusan apa ? ada matematika, fisika, biologi ? duh ... aku kuliah di itb juga di arsitektur dan punya sahabat yang kuliah di matematika itb, tapi pasti bukan temanku. waktu baca cerita ini jadi ingat juga ada tetangga komplek sebelah waktu tinggal di cirebon meninggal karena kdrt di pukul suaminya padahal baru beberapa minggu melahirkan. nah ... keluarga perempuan meminta otopsi dan diajukan ke polisi untuk menyeret lelaki dzalim itu ke penjara.Â
He3 ... tadinya aku berharap ending ceritanya adalah perjuangan keluarga perempuan dibantu wisnu dan mus (kalau perlu fatma sebagai ustazah turun tangan) menyeret hilmi ke penjara : sebagai bentuk keberpihakan kepada korban kdrt terutama istri. he3 ... maaf terbawa arus emosi ... karena ternyata kita yang berpendidikan tinggipun (di ceritakan di sini lulusan itb loh ! dulunya aktivis dakwah juga bukan ? mungkin di masjid salman atau di komunitas kajian lainnya) kadang tak paham bagaimana menolak bentuk kedzaliman terhadap diri kita sendiri apalagi terhadap orang lain terutama sesama perempuan ... hiiiksssss ...Â
Lygia : Dulu, aku pernah ngalami KDRT juga. Awalnya tiap kali aku dipukuli di depan anak2 aku gak melawan karena aku hapal sesudahnya pasti mantan akan mencium kakiku memohon maaf dan merengek supaya aku tidak meminta cerai. Sampai kemudian seorang sahabat yang tahu cerita ini (beliau seorang petinggi di media cetak waktu itu) menuliskan kisahku di korannya sebanyak 5 edisi. Kemudian dia menyentakku dengan bilang, "Kamu sakit jiwa ya Neng? Akang lihat, kamu yang sakit. bukan dia."Â
Tentu saya meradang dibilang seperti itu. tapi lanjutnya lagi, "Karena kamu diam saja ketika dipukuli. Karena kamu yang seorang sarjana hukum, lulusan UI pula, membiarkan dirimu diperlakukan semena2 oleh orang lain yang gak punya hak untuk itu. jangan2 kamu yang sakit karena menikmati setiap pukulan. gak kasian anak2 ngeliat terus prilaku begitu?"Â Deg, disitulah turning pointnya. Aku bukan orang sakit jiwa, dan aku gak ingin anak2ku melihat tontonan buruk seperti itu. Akhirnya aku bangkit dan melawan, berpisahlah kami kemudian.
Masalahnya, terkadang bukan orang enggan untuk menolak kedzaliman, tapi dia belum terbuka matanya. butuh seseorang pihak lain yang mau dan mampu membukakan matanya, kalau perlu melindunginya agar tidak diperlakukan seperti itu lalu. Namun, terkadang pula orang lain/pihak ketiga enggan melakukan itu, karena masih ada komentar seprti, "Ah, itu kan urusan rumah tangga orang lain. Kamu jangan ikut campur deh. ngapain sih?"Â
Dewi : big hug Lygia terharu sangat dengan perjuangannya melepaskan diri dari lingkaran kdrt ... subhanallah ... semoga Allah memberikan kebahagiaan dunia akhirat kepada mba dan anak-anak : aku dan teman-teman di Fahmina-institute dan kampus Institut Studi Islam Fahmina sangat perhatian dan berjuang untuk membantu teman-teman perempuan yang mengalami hal seperti ini, namun ... perjuangan ini tidak mudah : karena ternyata senyatanya justru kadang mendapat penolakan dari lingkungan terdekat mereka sendiri atau bahkan dirinya sendiri yang belum 'ngeh' kalau kdrt adalah kedzaliman / kejahatan yang seharusnya dapat diancam dengan pidana.Â
Lygia : pernah, hehehehe. waktu itu sahabatku itu bilang, "kamu mau nunggu sampai kapan? sampai kamu mati karena dia? kamu mau nunggu anak2mu nangis liat ibunya meninggal?" aku merindiing banget, dan ya begitulah. akhirnya aku milih untuk berpisah. meski katanya wanita tak akan mencium wangi surga kalau meminta cerai dari suami (seperti yang banyak didengung2kan oleh para lelaki), tapi aku sangat yakin, Allah pasti lebih gak suka rumah tangga yang lebih banyak mudharatnya betul mbak. sulit. aku sering kesal kalau ada teman yang dipukuli suaminya tapi selalu memaklumi dan bilang, "gpp,emang saya yang salah.". TIDAK, semua orang berhak bahagia dan dibahagiakan terutama oleh pendampingnya. dan SALAH bukan berarti harus menerima hukuman fisik dari orang yang seharusnya melindungi dan mengayomi.Â