Mohon tunggu...
dewi laily purnamasari
dewi laily purnamasari Mohon Tunggu... Dosen - bismillah ... love the al qur'an, travelling around the world, and photography

iman islam ihsan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gerakan Perempuan Anti Korupsi

30 November 2010   18:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   16:06 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku di depan gedung Balaikota Cirebon.

Pencanangan Gerakan Nasional Anti Korupsi (GNAK) berupa Memorandum of Understanding (MoU) antara Ketua PBNU KH.A.Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Prof.Dr.Sya'fii Ma'arif dan Direktur Eksekutif LSM Kemitraan DR.HS Dillon pada tanggal 15 November 2003, rasanya baru saja terjadi. Hampir tujuh tahun setelah GNAK dicanangkan, namun aku masih gregetan. 

Gerakan ini belum membumi. Mengapa ? pertanyaan itu menghantui aku, Dewi Laily Purnamasari dan juga sebagian besar dari hampir 220 juta penduduk Indonesia. Masih terlihat hampir di semua daerah APBD (juga APBN di tingkat nasional) ternyata tidak berpihak kepada rakyat. Pemborosan (mark up), in-efisiensi, manipulasi laporan, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain menjadi artefak yang nyata di dalam pelaksanaan Pemerintahan. 

Buku Bukan Kota wali aku tulis bersama tiga orang teman di Fahmina Institute Cirebon
Buku Bukan Kota wali aku tulis bersama tiga orang teman di Fahmina Institute Cirebon

Peran perempuan dalam korupsi  ada di mana ? Aku tak akan membahas perempuan sebagai penyebab korupsi. Namun, aku ingin menulis pengalamanku bersama temanku, Ipah Jahrotunnasipah membedah APBD kota Cirebon selama lima tahun (tahun 2000 - 2005). Kami bekerja bersama di lembaga LSM Fahmina Institute Cirebon.

Hasil bedah kami telah melahirkan sebuah buku berjudul  'Bukan Kota Wali' : Relasi Rakyat-Negara dalam Kebijakan Pemerintah Kota. Buku ini diterbitkan oleh Kutub Fahmina.  Eko Prasetyo, Direktur Pusham UII Yogyakarta memberikan kata pengantar. Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan memberikan kata sambutan. 

Buku ini adalah saksi hidup dari relasi rakyat dan negara di Kota Cirebon.
Buku ini adalah saksi hidup dari relasi rakyat dan negara di Kota Cirebon.

Buku ini merupakan hasil penelitian sosial dari para aktivis muda (saat itu aku dan sahabat-ku berusia 30 tahun-an) yang memiliki sense of belonging. Kami, perempuan di daerah juga mampu menempatkan diri sebagai agent of change. Kami ingin membuat para koruptor kapok! Berhasilkah ? 

Sahabat-ku Ipah lebih gigih dari-ku dalam melakukan advokasi. Dia lihai menulis di media juga mampu memobilisasi massa. Gerakan anti korupsi baru secara masif dilakukan di kota Cirebon pada kasus tindak pidana korupsi APBD 2001. Atau lebih dikenal dengan istilah APBD Gate! Mahasiswa-pun turun ke jalan sampai mengusung aksi mogok makan. Forum Masyarakat Basmi Korupsi (FMBK) yang secara khusus memperoleh wewenang dari masyarakat dan para anggota Dewan Kota (kumpulan berbagai komunitas di kota Cirebon) untuk memantau  kasus APBD Gate ini. Sekretaris Jenderal-nya adalah sahabat-ku Ipah. Mas Eko menyampaikan bahwa buku Bukan Kota Wali mendedahkan perspektif kebijakan yang tidak peka gender.

Dalam perancangan anggaran maupun perumusan kebijakan tampak dengan jelas : bagaimana peran perempuan yang sangat terbatas ? Tigapuluh wakil rakyat saat itu semuanya laki-laki. Jadi, aku berusaha menjadi wakil rakyat tandingan. Ha3 ... mana bisa ? Ya ... di bisa-bisa-in aja! Begini ceritanya. Dokumen APBD itu kurang lebih setebal 200 halaman. Bila di fotocopy cuma butuh tidak lebih dari duapuluh ribu rupiah. Tapi, susahnya minta ampun, aku rakyat tak ada kesempatan untuk memilikinya. 

Akhirnya, kuputuskan :  fotocopy dokumen milik seseorang yang dengan sembarangan meletakkan dokumen itu di ruang kerjaku sebagai sekretaris partai). Jadilah aku rakyat yang punya dokumen penting wakil rakyat. 

Mataku tak mampu berkedip. Kantuk tak bertandang. Malam itu juga dokumen penting itu ku bedah. Pisaunya hati nurani terdalam yang telah lelah menyaksikan beragam ketimpangan. Gunting-nya mata dan telinga ku yang sehari-hari berteman dengan mang beca, mbok jamu, tukang sampah, penjual sayur, mbah pijet, mba pembantu, pa satpam, pengamen, supir angkot. 

Coba renungkan fakta ini : Presiden lebih tinggi dari wakil Presiden; Gubernur lebih tinggi dari wakil Gubernur, Walikota lebih tinggi dari Wakil Walikota, Rakyat ? bukankah seharusnya lebih tinggi dari wakil Rakyat (Anggota Dewan itu loh!). Lucunya, mereka mereka-reka APBD yang memihak kepentingan pribadi, rakyat terabaikan. Contoh : ada anggaran Rp. 2,15 milyar untuk membeli kendaraan roda empat Walikota, wakil Walikota dan pimpinan DPRD, anggaran Rp. 750 juta untuk fasilitas rumah dinas wakil Walikota. 

Rehabilitasi rumah dinas Walikota Rp. 150 juta dan rumah dinas ketua DPRD Rp. 200 juta. Lebih menggelikan lagi, ada tambahan anggaran Rp 75 juta dan Rp. 50 juta untuk garasi ketua DPRD. Peran perempuan dalam mencegah korupsi sangatlah penting. Kota Cirebon tahun 2010 mendapat gelar kota ter-korup. Sungguh tamparan telak! 

Perjuangan kami, ternyata belum selesai. Perjungan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar -dengan berani melawan korupsi- butuh keberanian. Takutlah hanya kepada Illahi Rabbi. Gerakan perempuan anti korupsi sudah punya rumah di komunitas ibu-ibu anti korupsi berbasis media sosial facebook. 

Silahkan mampir bila berkenan. Tapi khusus untuk perempuan ya ... 

Aku berharap semakin banyak perempuan Indonesia yang dapat menjadi agen anti korupsi secara mandiri. Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun