Sungguh tempat yang sangat sempurna untuk menanti sang matahari terbenam. Orang bilang ‘sunset’, keindahan alam di antara semburat berwarna jingga di langit senja. Kilaukan air laut sebelah barat dan pantulkan bola bundar yang mulai memerah. Memang, pemandangan yang sangat luar biasa untuk aku yang berdomisili di Bandung. Menikmati detik demi detik saat mentari perlahan turun ke bumi, untuk kemudian bersembunyi di balik garis air. Temaramkan hari dengan gradasi warna yang mulai melemah tingkat kecerahannya. Menggetarkan hati yang tersentuh oleh kesadaran akan keagungan Sang Maha Pencipta.
Kali ini adalah keempat kalinya aku menginjakkan kaki di Makassar, dalam rangka menjalankan tugas dari kantor. Berbahagia sekali manakala tugas berjalan lancar, dan aku menghadiahi diriku sendiri dengan bersantai di tepi pantai. Kebetulan ada rekan yang bersedia mengantar, maka kesempatan emas ini tak kusia-siakan. Sore ini segera kumanfaatkan untuk memenuhi kerinduan pada debur ombak, pada butiran pasir di telapak kaki, pada terpaan angin laut di seluruh wajah. Kerinduan pada suasana yang dapat menentramkan hati dan membawa pikiran mengembara, menyuarakan perbincangan batin dalam hening. Bak seorang “Soul Traveler”, aku begitu menikmati kesendiran, menikmati perjalanan jiwa, di antara hiruk pikuk pengunjung dan anak-anak yang melemparkan kail kecilnya ke dalam air. Air yang sama yang membasahi kakiku, menyejukkan relung kalbu. Lincah riak gelombang mengayunkan seluruh tubuhku, yang terduduk di atas kompan plastik yang disusun bagaikan rakit dan sengaja diletakkan di bibir pantai. Nyaman sekali bergoyang-goyang, seirama dengan alunan air yang berusaha menepi untuk kemudian kembali ke laut lepas.
Bila dibandingkan dengan 14 tahun yang lalu, saat aku pertama kali menginjakkan kaki ke pulau Sulawesi yang juga dikenal dengan sebutan Celebes, pantai Losari tampak jauh berbeda. Lebih rapih, lebih bersih, terkelola dengan sangat baik. Barisan huruf yang membentuk kata P A N T A IL O S A R I membangkitkan naluri untuk mengabadikan moment tak terlupakan telah mendatangi tempat indah ini. Sungguh bukti otentik, telah mampir di tempat eksotik dan sangat mempesona….
Selesai menikmati keindahan alam kala sang mentari kembali ke peraduannya, episode menghayati keberadaan di suasana pantai dilanjutkan dengan berjalan ke arah utara. Semilir angin kian terasa, membelai seluruh tubuh dan mulai menusuk sampai ke tulang. Untuk menghangatkan badan, kudekati salah satu penjual makanan yang ada di sana. Kebetulan, di sepanjang tepian pantai berjejer para pedagang pisang epe yang siap dengan berbagai rasa. Ada rasa durian, nanas, coklat, nangka, keju, yang semuanya membangkitkan selera. Kupilih rasa durian dan ternyata…. rasanya tertutup oleh manisnya gula merah yang teramat legit menggigit. Saking manisnya, aku tak mampu menghabiskan tiga potong pisang kepok yang telah digepengkan itu. Akhirnya aku menyerah kalah pada keadaan, yang dengan sangat terpaksa membuat sepotong makanan menjadi mubazir. Tertinggal di atas piring kecil, siap untuk bergabung kembali dengan kulitnya di suatu wadah bernama tempat sampah. Bukan gue banget deh, satu perilaku negatif ini ….. maaf banget pisang ya….. !
Seusai menyantap pisang epe penganan khas Makassar, barulah kutersadar bahwa semburat jingga sudah menghilang, berganti dengan gelapnya malam. Bukannya semakin sepi, suasana pantai kian ramai dengan pengunjung yang terus berdatangan. Gemerlap lampu menghiasi temaram dan menambah keindahan pantai yang entah kapan lagi bisa kudatangi. Selamat tinggal Pantai Losari, sampai jumpa di lain hari …..
Makassar, 17 April 2012
Foto : dok prib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H