Nusantara tak pernah sekalipun meninggalkan pesona alam, keragaman suku,dan budayanya. Beraneka ragam budaya seolah menjadikan nilai plus tersohornya Zamrud Khatulistiwa ini. Namun, Saya sangat miris dengan perbedaan social, dan keadaan ekonomi yang timpang tidak merata. Hal tersebut saya jumpai di sebuah Dusun terpencil bernama Dusun Gumuk yang terletak di kawasan Magelang.
Dusun Gumuk merupakan area terpencil  di kawasan pegunungan daerah Magelang yang memiliki akses jalan yang terjal, infrastruktur jalan pun masih berupa bebatuan kasar yang sangat berbahaya ketika kondisi cuaca hujan. Penerangan listrik di Dusun Gumuk pun masih ala kadarnya.
Keramahan warga desa Gumuk seolah membuat para pengunjung enggan beranjak dari Dusun gumuk ini. Hal yang kami sukai dari warga disini selain ramah, warga desa masih hidup secara sederhana dan jauh dari kata teknologi. Menekuni profesi sebagai petani merupakan pilihan pasti warga Gumuk, bagaimana bisa demikian?
"Saged maem mawon pun seneng kok Mbak, teng mriki kathah lare sik mboten sekolah amergi mboten gadhah biaya", ujar Pak Sarji ketua RT di dusun ini.
Kondisi Dusun Gumuk yang masih sangat sederhana
Petani merupakan pilihan dikarenakan dari hasil bertani warga desa merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Tak tanggung-tanggung sayuran segarpun dipanen sebagai bahan untuk diolah sendiri atau terkadang jika hasil memungkinkan mereka menjualnya kepada para pengepul.Â
Banyak pula anak-anak yang putus sekolah bahkan tak sedikit yang hanya lulusan Sekolah Dasar, mirisnya lagi pemuda yang putus sekolah, terkadang untuk membuat dapur rumah mengepul mereka harus bekerja menjadi buruh proyek. Alih-alih fasilitas umum, bahkan rumah warga pun tak sedikit yang masih beralaskan tanah. Hmm...
"Kulo pun seneng Mbak saged maem, lan desa niki rukun, yen nggodhog wedang nggih naming gegenen ngagem kayu, nek diparingi gas malah susah wong ngge maem mawon susah kok Mbak", ujar bu Bayan salah satu warga dusun Gumuk.
Dari pernyataan ini sempat mengagetkan saya, ketika ada beberapa tawaran datang untuk menawarkan menyumbangkan gas, mereka lebih memilih tetap menggunakan kayu karena factor ekonomi , serta minum dari kran dimana air disini merupakan air pegunungan yang segar dan siap minum.. berasa..ke Singapore hehehe.
Nah, harapan para warga disini yakni ingin desa mereka maju, baik secara pendidikan maupun bagaimana mengembangkan ekonomi kreatif dengan keterbatasan yang ada. Warga Dusun Gumuk sudah memulainya sejak 2 tahun lalu, dengan masuknya keseniaan Brondut.
Brondut merupakan salah satu budaya di kawasan Magelang yang cukup popular, namun tak banyak yang mengenalnya.
Awal mulanya jenis kesenian ini merupakan kesenian untuk berdakwah yang mempermudah anak-anak untuk mencernanya. Sebenarnya nama Brondut ini awalnya dikenal dengan nama kesenian Kubro Siswa, kubro berarti besar sedangkan siswa artinya murid.Â
Kubro siswa berarti murid-murid Tuhan yang diimplementasikan pada gerakan untuk menjunjung kebesaran Tuhan. Ada pula yang mengungkapkan Kubrosiswa merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Raga (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa) yang artinya supaya hakikatnya manusia menyelaraskan hidup dunia & akhirat. Hmmm.. makna yang dalam.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan, tradisi Brondut beralih ke paduan tarian dengan music dangdut seperti ide kreatif pada Brondut "Rukun Mudo" yang dimiliki oleh warga dusun Gumuk. Bermacam lagu dijadikan list diikuti oleh gerakan kompak sekitar 20 orang lebih dengan kostum seragam yang nyentrik. Mengenakan kaca mata hitam pun jadi ciri khas para penari Brondut, goyangan kompak pun membuat riuh pertunjukkan Brondut "Rukon Mudo" ini.
Harapan para warga melalui Brondut "Rukun Mudo" Dusun Gumuk bisa terkenal dan lebih maju, Brondut "Rukun Mudo" juga bersedia ditanggap diluar kota Magelang lho, soal biaya nanti bisa dipastikan oleh Pak Sarji ya tentunya disesuaikan dengan jarak juga ya guys.
Sumber : wawancara Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa UPN Yogyakarta dan warga desa Gumuk, Magelang
Dewi Krisna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H