Mohon tunggu...
Dewi Khanah
Dewi Khanah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Ambil Resikonya Atau Kehilangan Kesempatan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Hujan di Bulan November

21 November 2024   16:10 Diperbarui: 21 November 2024   16:11 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di bawah langit November yang muram, aku duduk termenung, dihantui perasaan yang sulit kujelaskan. Campur aduk. Sesak. Hingga akhirnya, aku memutuskan keluar kos, menyalakan motor, dan melaju di bawah derasnya hujan. Kubawa tubuh yang basah ini memutari kampus, membelah rintik hujan yang terasa seperti menggambarkan gejolak di dalam diriku. Namun, meski angin dingin menusuk, hatiku tetap tak menemukan ketenangan.

Aku, yang selama ini enggan menitikkan air mata, kali ini menyerah. Tetes-tetes hujan di helmku bersatu dengan air mata yang akhirnya tak mampu kutahan. Kubelokkan motor menuju sebuah toko kecil. Kupikir, mungkin es krim dapat menjadi pelipur lara, sekadar penghibur jiwa yang entah mengapa terasa begitu hampa.

Duduk di kursi sederhana yang disediakan toko, aku menikmati es krim dengan pandangan kosong, menyaksikan hujan yang terus turun. Dingin air hujan yang melekat di jaketku meresap ke kulit, seperti dinginnya hati yang sulit menemukan jawaban. Nyatanya, tak ada yang berubah. Kekosongan itu tetap ada, menggema di dalam diriku. Aku masih tak tahu apa yang mengganjal, apa yang membuat perasaan ini begitu berat.

Saat malam mulai larut, aku kembali mengendarai motor menuju kos, membelah sisa rintik hujan. Dengan hati yang tetap berat, aku merebahkan tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang bisu. Dalam keheningan itu, aku mencoba merenung, menggali jawaban dari setiap sudut pikiranku yang berserakan.

Kuambil ponsel dan membuka TikTok, berharap menemukan sesuatu yang dapat menenangkan. Sebuah kata-kata muncul di layar, dan entah kenapa rasanya menusuk begitu dalam: "Mau cari kesibukan apa lagi biar gak kepikiran? Mau pergi ke mana lagi biar pulangnya gak nangis?" Kata-kata itu seperti cermin, memantulkan diriku yang selama ini tak pernah benar-benar kuhadapi.

Apakah ini jawabannya? Selama ini aku sibuk berlari, mempersibuk diri dengan segala aktivitas, mengelabui perasaan yang ternyata begitu menyesakkan. Aku termenung lebih lama, menghadapi diriku sendiri yang rapuh dan selama ini kubiarkan terluka. Hujan di luar akhirnya berhenti, tapi hujan di dalam diriku masih tak kunjung reda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun