Mohon tunggu...
Dewi Greenjo
Dewi Greenjo Mohon Tunggu... -

a.k.a Ratnasari Dewi/Penerima beasiswa Fulbright: master pelayanan publik di Clinton School of Public Service di Little Rock, Arkansas, AS/pemerhati komunikasi, pembangunan manusia, pembangunan paska konflik&bencana, gender, tata kelola yang baik, hubungan internasional, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)&lingkungan/mantan penyiar radio di Aceh selama kurang lebih 3 thn, hobi menulis puisi&kolom/Karya bisa diakses di www.ratnasaridewi.com/Membantu kemajuan Aceh pasca tsunami, Dewi dan suami berjualan kaos: www.jualankaos.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kecanduan Perang

22 Maret 2010   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat yang belum nonton, saya menyarankan agak hati-hati membaca ini, bisa jadi berisi sedikit sinopsis yang mungkin bisa mengganggu ketika belum menonton filmnya. "The rush of battle is a potent and often lethal addiction, for war is a drug" Dari buku War Is a Force That Gives Us Meaning, yang ditulis koresponden NY Times Chris Hedges. Perang bagi Amerika, setidaknya menurut Hedge, adalah ibarat candu. Sebuah pernyataan kuat dan provakatif, setidaknya buat saya ketika menonton film terbaik Oscar 2010, the Hurt Locker. Film ini menarik dari beberapa segi, salah satunya karena film perang ini disutradarai oleh seorang perempuan bernama Kathryn Bigelow, janda sutradara James Cameron yang film spektakulernya Avatar tidak menang pada Oscar kali ini. Untuk saya pribadi, film ini menarik karena mencoba objektif memperlihatkan bagaimana para penjinak bom anggota militer Amerika Serikat bekerja di Irak. Film ini “berusaha” tidak “memihak” Amerika atau Irak, tapi lebih menggambarkan keadaan yang terjadi di kala itu. Film ini juga membuat saya lebih menyadari lagi tugas berat para tentara di medan laga yang berperang dengan tugas yang sama sekali tidak mudah atas nama “patriotisme” membela kepentingan bangsanya. Mengambil tempat perang Irak di tahun 2004, film yang skenarionya ditulis oleh Mark Boal, mengisahkan tentang para penjinak bom yang tergabung dalam pasukan U.S Army Explosive Ordnance Disposal (EOD). Fokus film ini sendiri adalah pada kisah tiga orang di tim tersebut: Sergeant First Class William James (yang dimainkan dengan apik oleh Jeremy Renner), Sergeant J.T. Sanborn (dimainkan Anthony Mackie), dan Specialist Owen Eldridge (dimainkanBrian Geraghty). James datang menggantikan Staff Sergeant Thompson yang mati ketika sedang menjinakkan bom. Ini pertama kalinya saya tahu bahwa ada tim ekslusif penjinak bom di perang Irak (dan saya yakin bisa jadi di semua perang modern). Bom-bom tersebut diletakkan di berbagai tempat, mulai di dalam karung di jalan, di dalam mobil, ditanam di tubuh orang, dan juga dibawa martir bom bunuh diri. James yang agak cuek dangan protokoler dan aturan, pada awalnya tidak bisa diterima oleh Sanborn dan Geraghty. Apalagi ketika sikap cueknya ini tidak membuat kerjanya tidak benar. Ada adegan yang buat saya menyentuh, yang membuat saya menghargai lagi para tentara-tentara itu (terlepas dari apa tujuan Amerika untuk perang Irak ini). James menemukan bom-bom berkekuatan ledak tinggi yang ditanam di bagasi sebuah mobil. James yang harus mengenakan pakaian khusus ketika menjinakkan bom sempat kaget melihat besarnya bom tersebut. Ucapan James kala itu kurang lebih adalah, “Bisa jadi ini hari saya mati. Jadi saya ingin mati dengan nyaman,” seraya melepaskan baju anti-bom yang dipakainya. Ketegangan film dijaga sempurna oleh Bigelow dalam adegan ini. Sanborn dan Geraghty yang harus melihat sekeliling, juga sempat panik karena melihat para penduduk Irak menonton James menjinakkan bom. Apalagi bisa jadi orang yang bertugas menyalakan bom tersebut juga sedang harap-harap cemas ingin meledakkan bom besar itu. Ada pemuda yang merekam adegan ini dengan kamera. Ada yang menonton dari kubah mesjid dan jendela-jendela rumah. Besarnya daerah yang harus disisir kedua tentara ini, membuat kedua tentara ini juga panik apalagi James melepas alat komunikasi dan terus berusaha menjinakkan bom. Ada sisi humanis yang ditonjolkan film ini. James berteman baik dengan anak kecil penjual DVD yang memanggil dirinya “Beckham”. Mereka pernah main bola bareng yang ternyata hal ini membekas di hati James, yang jauh dari istri dan anaknya. Saya pun sempat menangis ketika James dan kedua rekannya menemukan Beckham mati di sebuah ruangan. Beckham mati karena tubuhnya ditanam bom. Dengan air mata, James membongkar perut Beckham yang ditanam bom. James sempat tidak sanggup, tapi dia harus melakukan ini. Setelah berhasil mengambil bom dari perut Beckham, James pun membawa jasad Beckham untuk diberikan kepada petugas kesehatan. Saya terhanyut bisa merasakan hati James kala itu. Saya membayangkan bila saya harus membongkar perut kawan saya untuk menemukan bom di dalamnya. Tugas yang bisa jadi tidak mau diambil semua orang. James yang terluka hatinya bermaksud mencari tahu sendiri apa yang terjadi. Ketika sore, penjual DVD mantan bos Beckham pulang, James menyelinap ikut di mobilnya. Dia minta ditunjukkan dimana rumah Beckham. Penjual DVD itu menunjukkan rumah yang dimaksud, tapi ketika James masuk, dia ternyata salah alamat. Yang buat saya menyentuh adalah bagaimana James berhadapan dengan seorang laki-laki setengah baya yang membawa bom di tubuhnya. James hanya punya waktu 2 menit lebih sedikit untuk menjinakkannya. James berusaha keras, namun James tidak bisa menjinakkan bom yang digembok mati di tubuh laki-laki ini. James sendiri selamat, tapi saya tidak membayangkan bagaimana hatinya. Padahal James mengaku sudah menjinakkan sekitar 853 bom. Tapi ada beberapa hal yang James tidak punya kuasa atas itu. Selanjutnya, James dan timnya harus menjinakkan bom di sebuah gurun. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan tentara Inggris yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena ban mobilnya kempes. Di tengah-tengah proses penggantian bom, ada sniper yang menembak. Mereka pun harus menembak balik. Dua tentara Inggris tewas, salah satunya dimainkan Ralph Fiennes. Beberapa jam mereka berusaha melumpuhkan sniper-sniper tersebut, kehausan, kelaparan. Akhirnya Sanborn, James, dan Geragthy pun pulang. Di suatu malam, mereka harus pergi ke suatu tempat yang baru saja diledakkan bom. James yang sangat emosional mencoba mencari siapa yang meledakkan bom tersebut. Bertiga, mereka berusaha menyisir daerah itu yang berujung ditangkapnya Geragthy. Setelah baku tembak yang singkat, Geraghty pun berhasil dibebaskan. Walaupun selamat, Geraghty tidak bisa memaafkan James. Setelah beberapa saat, James pun kembali ke istri dan anaknya menjalani kehidupan normal sebuah keluarga di Amerika. Namun, di suatu malam, dia mengaku kepada anaknya yang masih bayi, bahwa ada hal yang paling dia cintai. Film ini ditutup dengan kembalinya James ke medan perang Irak, untuk menjinakkan bom lagi di 365 hari ke depan. James yang menjadi pecandu. Setelah film ini selesai, saya berpikir keras. Tentara-tentara itu setiap hari mempertaruhkan nyawanya demi sebuah “patriotisme” membela negara. Ini miris buat saya, apalagi banyak teori yang bilang bahwa perang Irak adalah perang untuk minyak. Dalam sebuah obrolan saya dengan teman Amerika, bahkan dia bilang bahwa perang membuat perekonomian Amerika maju. Industri senjata menjadi terus berputar dan menyerap tenaga kerja. Belum lagi pembangunan paska perang yang juga akan memakai jasa perusahaan-perusahaan Amerika. Bisnis menggiurkan yang bisa menyerap tenaga kerja dan pastinya membuat uang mengalir. Dalam obrolan yang lain, beberapa teman saya bilang bahwa perang membuat orang-orang bisa bekerja menjadi tentara, karena banyak dari mereka yang berasal dari golongan miskin, para kriminal yang sedang dipenjara, dan petani yang memutuskan menjadi tentara. Bahkan ada teman saya yang berpikir menjadi anggota angkatan laut amerika karena dia ditawari uang untuk membayar biaya kuliahnya. Jadi yang pergi ke medan laga beragam motivasinya. Ada yang murni membela kepentingan Amerika, ada yang demi uang untuk menyambung hidup. Buat saya miris saja bila perkenomian harus berjalan bila perang harus diciptakan. Film ini mengingatkan saya lagi. Bahwa perang tidak pernah murah harganya. Banyak orang-orang yang akan mati, banyak bangunan yang hancur. Bahkan di Irak, perang menghancurkan pusat-pusat kebudayaan tua Eufrat dan Tigris. Belum lagi hubungan-hubungan yang rusak dengan beberapa negara paska perang Irak (lalu Afghanistan). List ini bisa panjang sekali, dan saya semakin pusing saja. Saya jadi ingat. Saya pernah pergi ke Museum Sejarah Amerika di Washington D.C bulan Desembar 2009. Ketika itu saya melihat pamerah di lantai 2 museum ini, tentang perang-perang yang pernah dilalui Amerika Serikat. Dua jam tidak akan cukup melihat perang yang pernah dilakukan dan diciptakan Amerika Serikat dalam museum ini, karena daftarnya panjang sekali. Bisa jadi negara ini memang kecanduan perang. Hurt Locker sendiri adalah bahasa slank untuk menjelaskan keadaan seseorang yang baru saja terluka dalam sebuah ledakan seperti mereka dikirim kepada laci-laci penuh luka, atau tempat untuk rasa sakit dan trauma yang mendalam. Kata-kata ini tercetus untuk menggambarkan korban perang Vietnam yang berlangsung di tahun 1957-1975. Sebelum nonton film ini, saya kecewa Avatar tidak jadi film terbaik. Apalagi James Cameron bekerja keras membuat film cantik ini 10 tahun lamanya. Tapi saya jadi mengerti kenapa the Academy memilih film ini. Bisa jadi, Kathryn juga ingin memperlihatkan kepada mantan suaminya dan dunia perfilman dunia, bahwa ini saatnya sutradara perempuan unjuk gigi dalam sebuah film yang cukup luar biasa ini. Selain film terbaik dan sutradara terbaik, Hurt Locker juga memenangkan film editing, sound editing, sound mixing, dan original screenplay. Namun ini belum jadi tahunnya Jeremy Renner yang pernah ngetop di beberapa film termasuk S.W.A.T dan beberapa episode serial House dan CSI. Dan saya berharap ada film-film yang akan mengangkat cerita perang Irak dan perang yang Amerika ikuti dari kacamata “korban”. Perang yang disakau oleh para pecandunya. Saya lebih baik kecanduan menciptakan damai dan menolong orang saja. Sepertinya lebih menyenangkan dan lebih berguna. trailer filmnya bisa diliat di sini @Little Rock, 21 Maret 2010, 7PM sekali lagi bernyanyi: banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai [caption id="attachment_99309" align="aligncenter" width="300" caption="Jeremy Renner playing James"][/caption] [caption id="attachment_99310" align="aligncenter" width="194" caption="The Hurt Locker"][/caption] Tulisan yang lain bisa dibaca di RatnasariDewi.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun