“Aku bilang, masuk rumah, makan, masuk kamar,bobok deh.”
Terus kata Pak guru apa? Ayah semakin menunjukkan rasa penasaran.
“Jawaban aku salah katanya. Harusnya, kata Pak guru, aku menjawab bahwa pulang sekolah itu aku membantu pekerjaan ibu.”
Ibu yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan antara Ayah dan Rama tersenyum-senyum penuh rasa syukur melihat putra kesayangannya yang polos di berikan kecerdasaan oleh Allah.
“Terus , sekarang bagaimana?” Ayah mencoba mengeksplorasi pikiran Rama. “Nggak apa-apa yah.. aku hanya ingin nanya aja ke ayah. Aku gak salah kan?” Rama minta penjelasan dari ayah, sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Ayah.
Saat menghadapi anak-anak, kita sering menggunakan pikiran sebagai orang dewasa. Padahal jelas sekalih mereka “bukan kita” . Hak kembang anak kandung terhadang dengan sikap kita yang tidak sesuai dengan dunia mereka. Kita harus benar-benar memahami betul bahwa kebiasaan cepat menilai dan menyalahkan anak adalah penyebab tumbuhnya mereka menjadi pribadi yang mempunyai mental yang positif, atau sebaliknya. Hubungan ini juga menyebabkan ketidak harmonisan hubungan antar anak dan orang tua.
Sesungguhnya kata-kata yang keluar dari mulut kita, seperti pujian, hinaan dan yang lainnya itu akan berdampak pada mental anak kita. Walaupun tidak mudah untuk memahaminya jika kita mau berusaha semaksimal mungkin alangkah indahnya. Setiap anak mempunyai potensi tersendiri, orang tua maupun guru tidak boleh memaksa anaknya untuk menjadi seperti yang mereka inginkan. Setiap bakat yang dimilikinya akan sangat berbeda-beda, bahkan ada juga yang berlawanan dengan orang tua atu gurunya, jika suatu bakat tersebut tidak merugikan baginya kenapa tidak?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H