Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Lelaki Kecil di Atas Bendi (Menyambangi Rumah Kelahiran Bung Hatta)

20 Januari 2025   06:55 Diperbarui: 20 Januari 2025   08:53 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertualangan hari ke-2

Siluet matahari siang itu menyeruak dari sela daun pintu yang terbuka. Sesosok pria kalem berkacamata tebal  nampak khusuk di depan tumpukan buku di atas meja. Peci yang biasa dikenakannya tergeletak di samping buku yang halamannya dibiarkan terbuka. Lelaki pecinta buku itu telah mengumumkan tekadnya,"Jika Indonesia belum merdeka, aku tidak akan menikah."

 

****

Aku masih berdiri di depan jendela sebuah rumah panggung tak jauh dari jantung kota Bukittinggi, Sumatra Barat, sambil menatap kagum pada rumah yang tengah kupijak. Rumah panggung kokoh berdinding kayu dengan plafon anyaman rotan. Selain rumah panggung sebagai rumah utama, ada beberapa bangunan di sekitarnya: paviliun, lumbung padi, dapur, kolam ikan dan istal tempat menambatkan kuda-kuda. Pemiliknya pasti orang terpandang pada zamannya, simpulku.

Kulempar pandangan ke bawah ke arah paviliun yang terpisah dari rumah utama. Bangunan satu kamar berlantai ubin itu disebut kamar bujang. Tempat tokoh besar dalam sejarah Indonesia pernah merajut hari-harinya. Isinya sederhana saja. Hanya sebuah dipan kecil, lemari pakaian, dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Kupejamkan mata, kubayangkan sang tokoh menghabiskan waktu berjam-jam membaca di meja itu. Udara sejuk Bukittinggi mengembus, menghalau matahari menyengat hari itu. Sebuah kekuatan menarikku ke lorong waktu. Mengisapku.

Seorang anak lelaki kecil berdiri di depan istal. Dia mengenakan sarung dan peci, nampaknya akan pergi mengaji. Sebuah bendi dan seekor kuda jantan ditambatkan di depannya telah siap berangkat. Kusirnya seorang lelaki paruh baya.

"Capeklah, amak lah manunggu, Hatta,"lamat-lamat kudengar suara hangat sang kusir diterbangkan angin dari abad 19 silam.

Hatta adalah Bung Hatta. Nama aslinya Mohammad Attar. Dia lahir pada 12 Agustus 1902, ketika Indonesia sedang dalam belenggu kolonialisme. Entah mengapa, Attar akhirnya dilafalkan dengan Hatta. Mungkin itu pengaruh lidah orang Minang.

Anak lelaki kecil itu memang beruntung terlahir dari keluarga yang mapan dan terdidik. Kakek dari sebelah Ibunya, yang biasa dipanggilnya Pak Gaek, Ilyas Bagindo Marah, adalah seorang saudagar. Dia seorang pengusaha angkutan pos antara Bukittinggi dan Lubuk Sikaping. Untuk menjalankan usahanya dia menggunakan bendi sebagai angkutan. Pantas saja banyak kuda di istalnya, batinku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun