Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belenggu

15 Januari 2014   12:38 Diperbarui: 1 April 2017   08:48 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_317514" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: google"][/caption]

Ini kali ketiga aku memergoki wanita itu menaiki mobil suamiku. Aku membuntuti mereka diam-diam. Posturnya semampai, dengan rambut hitam indah. Aku langsung tahu dia perempuan masa lalu suamiku.

Kali ini ku pergoki dia di sebuah toko bunga, sedang memilih-milih bunga. Ku lihat dia memilih sebuket mawar putih. Kenapa dia memilih mawar putih? Mungkinkah dia ingin membeli maaf seseorang?

Beberapa bulan ini sosok wanita ini merenggut perhatianku. Waktuku tersita menguntiti dia, juga suamiku. Meski hatiku terasa ditikam setiap detik, tapi ada sebuah sensasi lain menyerangku. Akh, entah apa. Aku hanya menunggu sebuah ending yang dramatis. Hingga siang ini…

“Dari mana saja kamu?”

Tatap menyelidik dari suamiku langsung menghujam begitu aku turun dari mobil. Sambil memainkan kunci mobil di tangan, aku menghindari kontak mata. Jengah ditatap seperti itu. Tapi dia menarik bahuku dan memutar tubuhku menghadapnya. Dengan postur tinggi besarnya dengan mudah dia dapat memaksaku menghadapnya.

“Mas, kok sudah pulang?”

“Kamu lupa menjemput Bayu? Kok ditelepon nggak ngangkat?”

“Ooh…”

Hanya itu yang tercetus dari mulutku. Sedikit rasa bersalah karena membiarkan putera semata wayangku menunggu. Ku putar tubuhku enggan, dan memasuki rumah.Tentu saja aku lupa, aku sedang punya misi rahasia. Tunggu saja, akan ku sergap kalian! Pengkhianat cinta!

Suamiku menjajari langkahku. Ada apa denganmu, tanyanya. Sebaliknya aku ingin bertanya,apa permainanmu Mas?Tapi biarkan saja dia bermain, aku yang akan menuntaskannya.

Bayu sedang melepaskan kaus kakinya di sofa ketika aku mendekatinya. Dia melihatku, menghentikan aktivitasnya, dan bersungut-sungut menuju meja makan.

“Bayu nunggu Mama lama,”protesnya.

“Maaf sayang, tadi Mama ada perlu jadi nggak sempat jemput.”

Dia pasti menunggu cukup lama tadi. Hampir jam dua sekarang. Dan dia makan dengan lahap, tanpa menoleh. Pasti dia kelaparan selama menungguku. Sedang aku dan suamiku tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening, hanya denting sendok dan garpu beradu yang terdengar. Pikiranku semakin jauh, melayang ke tempat tak terjangkau. Sempat ku dengar Bayu merengek ke Papanya minta dibelikan mainan. Ada lego baru Pa, katanya.

*****

Malam ini air dari langit seolah tumpah ke bumi. Sesekali kilat menyambar disertai angin kencang. Suaranya mendesau-desau, mirip rintihan. Dahan pohon mangga depankamarku menggapai jendela kamarku, mengetuk-ngetuk jendela bak tamu tak diundang. Ku tutup gorden jendela, dan ku matikan pendingin ruangan. Udara malam ini cukup dingin. Bahkan Bayu meringkuk di balik selimutnya tadi sebelum AC kamarnya ku matikan juga.

Ku lihat bayangan sesosok wanita di meja rias. Sosok itu terlihat pucat dengan bola mata besar hitam. Tapi mata itu nyaris tanpa sinar, seolah menyimpan banyak derita terpendam. Wanita itu nampak jauh lebih tua dari usianya yang baru saja melewati angka tiga puluhan tahun. Bahkan pernikahannya baru menginjak tahun ke delapan, tapi dia merasa telah seabad terikat dalam mahligai itu. Dia merasa terbelenggu rutinitas itu: dapur, tempat tidur, dan tetek bengeknya.

 Apakah dia, Reynaldi, suami yang sempat ku cintai kini merasa terbelenggu juga?

Sepi kini. Ku tarik selimut hampir menutupi leherku. Suamiku tidak memberi kabar sejak dia kembali ke kantor siang tadi. Aku pun enggan mencari kabarnya, biar saja. Mungkin dia sedang asyik dengan perempuan itu. Tik tak tik tak, bunyi dahan pohon Mangga memukul jendela kamar terasa bergema. Tik tak tik tak….lalu senyap.

Bagai siluet ku lihat bayangan dua sosok manusia melangkah bagai ritme sebuah nada. Langkah mereka ringan, memantulkan kebahagiaan. Bahkan merasuki bagi yang menatapnya. Aku menatapnya iri. Mereka pasti pasangan yang berbahagia. Tapi eh, tunggu dulu, aku tahu langkah itu. Itu milik Mas Rey, suamiku. Dan wanita itu, lagi-lagi dia.

Aku berjingkat perlahan, berusaha menyusul mereka. Sesekali aku berhenti sejenak, bersembunyi di belakang tembok, pepohonan, bahkan bebatuan. Adrenalinku mulai terpacu. Mereka semakin dekat, sampai akhirnya aku terkesiap. Mereka menuju kuburan. Ku lihat mereka berjongkok di samping sebuah nisan. Si wanita menaruh sebuket mawar putih di kepala nisan. Mawar itu.

Perlahan aku mendekat. Langkahku nyaris terbang. Buktinya mereka tidak menyadari kehadiranku. Aku telah di belakang mereka, berusaha menguping percakapan rahasia. Mereka berbicara nyaris berupa bisikan. Bukan, itu suara dari kedalaman jiwa. Kata si wanita, akhirnya seperti ini Rey,atau ini akhir yang ku nanti Rey.Entah suara-suara itu simpang siur, membuat kupingku berdengung-dengung. Si pria diam saja. Ku lihat matanya tertuju ke pusara. Air matanya menetes. Tapi air mata itu merah. Akh, air mata darah. Dan darah itu menetesi sebuah tulisan di pusara itu. Tapi tidak, kenapa namaku tertulis di sana: Gadis binti Sulaeman. Tidaaak, aku berteriak. Aku belum mati, aku tak ingin mati. Tanganku berusaha mencengkeram mereka dari belakang, tapi sia-sia. Tenagaku seolah terhisap.

Suara langkah mendekat. Langkah itu terburu-buru. Oh tidak, tanganku menggapai-gapai. Aku tak ingin mati. Dia pasti akan membunuhku. Sreets, aku berhasil meraih sebuah benda. Dia cukup tajam untuk menikam. Benda itu menari-nari di tanganku. Sekuat tenaga aku menyerang sosok yang semakin mendekat, dan mendekat, hingga….aarrgh.

*****

Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak mataku. Silau. Semua nampak putih. Ruangan putih, bahkan sosok yang berdiri di sampingku pun samar-samar terlihat putih. Dingin menikam. Aku berusaha menggerakkan tangan dan kakiku…sakit. Sebuah suara terdengar sayup-sayup di kejauhan…

“Selamat siang, Bu. Sudah merasa baikan?”

“Anda siapa?” tanyaku lemah.

“Saya dokter.”

“Apa yang terjadi?”

“Mmm…Hmm, Ibu memang biasa mengkonsumsi obat-obatan?”

“Maksud dokter?”

“Ibu biasa mengkomsumsi obat-obatan penenang? Semalam Ibu menyerang suami Ibu dengan garpu.”

Aku tercekat. Tidak, tidak, tidak ini semua rekayasa. Aku berusaha menarik tanganku yang terikat di ranjang. “Lepaskan saya, dok,”pintaku.

Dokter berusaha menenangkanku. Ibu sedang dalam pemulihan. Katanya semalam aku mengamuk.

Aku masih berusaha menarik ikatan di tanganku, ketika pintu terkuak. Reynaldi dan Bayu. Anakku menangis. Mama kenapa,tangisnya. Tapi sebuah senyum aneh tersungging di bibir suamiku. Aku meronta, dokter lepaskan aku, lepaskan. Dia dalang semua ini. Tapi sebuah tangan menghentikanku. Dan aku kembali tertidur.

                                                                                                                        *****

Gadis kecil itu bersembunyi di bawah meja. Dia ketakutan. Tubuhnya mengigil. Di depannya Ayahnya sedang menghajar Ibunya. Beberapa pukulan mendarat di tubuh ringkih Ibunya.

“Kamu selingkuh. Kamu tidak bisa meninggalkan masa lalumu,” katanya lirih di antara isakan.

Wanita itu menggulung tubuhnya di lantai sementara hantaman bertubi-tubi diterimanya. Hingga di batas pertahanannya tubuh yang babak belur itu akhirnya tak bergerak lagi.

Lelaki itu menatap nanar. Sementara gadis kecil itu semakin meringkuk, dan melipat tubuhnya di kolong meja. Dia gemetar. Bahkan napasnya terasa berat. Dia ingat, dia bisa bernapas lega lagi ketika polisi datang. Seorang polisi wanita menggendongnya.

Mimpi itu begitu nyata dan membelenggunya. Ketika terbangun, tubuhnya basah. Dan dia menangis, menjerit-jerit. Dokter pun datang, sebuah suntikan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun