Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Profesionalkah Wartawan dalam Kasus DW?

8 Maret 2012   03:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 4343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_175420" align="aligncenter" width="558" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption]

“Ketika tahun 1989 di Boston terjadi peristiwa menggegerkan, penembakan seorang wanita di dalam sebuah mobil, sebuah harian The Boston Globe mengarahkan liputannya ke orang-orang kulit hitam. Tapi ternyata sang suami sendiri yang menembak isterinya itu”

Majalah berita mingguan Tempo edisi 5-11 Maret 2012 menurunkan topik utama: Orang Pajak Taat Palak. Lengkap dengan gambar sampul seorang tersangka –yang diduga melakukan manipulasi pajak- DW, akan langsung menggiring opini pembacanya ke arah yang memang telah diinginkan media itu.

Coba buka lagi halaman 18, bagaimana gambar kartun sebuah plang dengan tulisan yang sangat mendiskreditkan “Direktorat jenderal Palak” dengan pria berseragam di bawahnya, dengan ekspresi –entah bingung, cemas, mungkin juga galau- dan seorang pria yang tersenyum mengejek di depan sang pria berseragam, memamerkan sepenuh giginya. Maka siapapun bisa menganalisa bahwa Direktorat JenderalPajak kini sedang menjadi bahan cemooh-an masyarakat.

Adalah wajar ketika pimpinan Direktorat Jenderal Pajak merasa keberatan dengan pemberitaan yang cenderung tendensius dan provokatif tersebut melalui surat jawab yang dilayangkan ke majalah Tempo tanggal 6 Maret 2012 kemaren. Point-point yang menjadi keberatan tersebut adalah

[caption id="attachment_175396" align="aligncenter" width="128" caption="stigma itu"]

1331177218142078183
1331177218142078183
[/caption]

Pertama terminologi “orang pajak taat palak” memberi kesan seolah-olah seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berjumlah sekitar 33.000 orang adalah “Tukang Palak” . Sementara kasus yang sedang berkembang saat ini, belum ada fakta hukum yang jelas dan pasti. Kasus ini diduga melibatkan beberapa oknum pegawai. Stigma “orang pajak taat palak’ sangat merendahkan dan menyakitkan seluruh pegawai DJP yang telah bekerja secara sungguh-sungguh dan penuh dedikasi.

Kedua karikatur di halaman 18 yang bertuliskan “Direktorat Jenderal Pajak” diplesetkan menjadi “Direktorat Jenderal Palak” merupakan penghinaan (humiliation) kepada Direktorat Jenderal Pajak, sebagai salah satu lembaga Negara yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mengamankan penerimaan negara melalui perpajakan sebesar Rp. 1.032 triliun (Tahun 2012)yang merupakan lebih dari 75% pendapatan negara yang dianggarkan di APBN.

Ketiga Penggunaan kata “Pajak” dan “Palak” memiliki arti yang sangat berbeda dan bernada melecehkan institusi Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga negara yang bekerja berdasarkan undang-undang

Keempat Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa “ pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah”. Persnasional dalam menyiarkan informasi tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan.

*****

Penulis teringat obrolan dengan seorang teman wartawan terkait kasus DW ini. Yang menjadi pertanyaan penulis ketika itu, kenapa pemberitaan kasus DW ini tidak berimbang dan cenderung bias, apakah pihak DW sebelumnya telah dimintai konfirmasi?

Rekan itu bercerita bahwa mereka telah mencoba menghubungi DW tapi tidak berhasil, bahkan pengacaranya pun melakukan aksi tutup mulut. Dan saya pun terhenyak. Kenapa? Setelah berita yang diturunkan sedemikian gencarnya dan opini yang dibuat telah menggiring DW menjadi tersangka –walaupun belum terbukti- , kini pihak media baru ingin melakukan konfirmasi? Come on. Akhirnya saya katakan jika saya jadi DW, saya pun akan tutup mulut. Untuk apa lagi saya bicara? Untuk menaikkan rating koran-koran dan tabloid? Untuk apa lagi bicara, jika media massa telah memiliki kebenaran sendiri.

Kemudian saya membaca Kode Etik Jurnalistik di dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa dalam menurunkan berita wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Bagaimana dengan kasus DW, adakah para wartawan telah menjunjung tinggi Kode Etik  Jurnalistik itu? Jika kita lihat pemberitaan yang berkembang sekarang, maka kesimpulan penulis rekan-rekan wartawan dalam memberitakan kasus DW ini masih jauh dari sikap profesionalisme. Alih-alih menurunkan pemberitaan yang independen, akurat, dan berimbang kini malah pemberitaan semakin tendensius dan provokatif.

Coba kita simak, belum ada titik-terang atas kasus DW ini dari pihak berwenang, kini media mulai menyerang membabi-buta sebuah instansi besar tempat DW pernah berkarier. Pemberitaan yang begitu tendensius dan provokatif seolah-olah 33.000 pegawai Direktorat Jenderal Pajak adalah tukang palak. Siapapun akan geram, jika sebuah stigma distempelkan semena-mena, tanpa didasari fakta. Sementara bagi banyak pegawai lain kasus DW ini bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Bukan hal yang mudah untuk tetap menjunjung tinggi profesionalisme di tengah badai yang terus menghantam. Bukan pula hal yang mudah ketika mereka harus menjelaskan pertanyaan dari keluarga, tetangga, ataupun kenalan-kenalan mereka karena pemberitaan yang cenderung tendensius.

Mereka pegawai-pegawai pajak itu manusia biasa, butuh penghargaan sebagai manusia. Bukan hal yang bijak ketika beban tugas negara yang begitu berat diletakkan di pundak mereka –menghimpun 75% pendapatan negara- tapi di sisi yang lain mereka terus-menerus disudutkan. Mungkin sekali waktu perlu diturunkan profile-profile pegawai pajak yang lurus dan berintegritas, kenapa tidak? tapi apakah ini akan jadi berita? Karena ada pemeo di kalangan media “jika anjing menggigit manusia itu bukan berita, tapi jika manusia menggigit anjing itu baru berita”.

*****

Ketika tahun 1989 di Boston terjadi  peristiwa menggegerkan, penembakan seorang wanita di dalam sebuah mobil, sebuah harian The Boston Globe mengarahkan liputannya ke orang-orang kulit hitam. Tapi ternyata sang suami sendiri yang menembak isterinya itu.

Bagaimana The Boston Globe telah keliru membuat investigasi yang menyudutkan orang-orang kulit hitam saat itu, adalah karena tidak adanya independensi dalam meliput berita. Media itu telah memperlakukan orang-orang kulit hitam miskin dengan penuh kecurigaan –seperti halnya yang dilakukan pihak kepolisian-. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena para wartawan yang terlibat dalam reportase itu sudah terlalu akrab dengan pihak kepolisian Boston. Dan mereka sudah terlalu jauh dari kalangan miskin. Mereka tidak memulai investigasi dari titik nol.

Ketika ternyata sang suami sendiri yang menembaki isterinya itu, dan setelah itu dia melukai dirinya sendiri, maka berita-berita penuh praduga terhadap golongan kulit hitam itu telah melukai mereka yang tidak bersalah.

Belajar dari cerita ini maka seharusnya media massa bersikap arif dalam menurunkan berita. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, tempat teratas kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam menurunkan sebuah berita, seorang wartawan harus menjunjung tinggi nilai kebenaran itu. Dan kebenaran itu sendiri ada dalam nurani tiap orang, karena itu sebuah fitrah. Karena itu kita tak boleh membutakan suara nurani, di manapun kita bertugas. Terlebih bagi media massa yang berperan sebagai anjing penjaga.

Mengutip kata-kata penyiar berita Carol Martin kepada Committee of Concerned Journalists,”Saya rasa seorang wartawan adalah seseorang yang meyakini sesuatu yang membuat mereka sanggup meninggalkan pekerjaannya demi keyakinan itu.”

Kita berharap semoga kata-kata itu masih menggugah bagi para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, semoga.

L22 Gatsu, 08032012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun