Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Blangko Kosong Tania

21 April 2011   01:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:35 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_103834" align="aligncenter" width="450" caption="perangkap (sumber:google.com)"][/caption]

Laksana seekor lalat yang terjebak dalam jaring laba-laba, aku hanya bisa pasrah menunggu, dan diam dalam bimbang. Celah itu hampir nihil. Sementara sekelilingku arthropoda-arthropoda itu sedang siaga mengincarku. Sedikit saja langkah keliru, akan membuat tubuhku tercabik-cabik.

*****

Di gua ini aku sembunyi. Memandang parade senja di ufuk barat dari etalase kamar mewahku dengan otak hampa. Langit yang memerah saga, layar-layar perahu yang bergoyang ritmis karena tamparan gelombang, dan camar-camar yang terbang rendah di atas laut yang berubah berwarna tembaga. Sebentar kemudian gerombolan camar itu menukik tajam karena menemukan mangsa, dan kembali mengudara membawa hasil tangkapannya. Namun semua itu bagai terhampar begitu saja di atas kanvas kosong. Pikiranku buntu. Aku telah dijerat gelisah. Harta haram membawa resah. Kini harta itu siap mengubur kebebasanku.

Sekian tahun apartemen ini telah jadi tempat favoritku membuang resah dan menyalakan hasrat. Hanya aku dan perempuan-perempuanku yang biasa menghabiskan malam di sini. Ini tempat rahasiaku. Entah ke mana isteri dan anak-anakku menghamburkan uang, itu pun jadi rahasia mereka.

Tapi malam ini aku yakin tak ada hasrat yang akan terbakar. Karena aku sendiri saja. Aku ingin mencairkan otak yang serasa buntu. Tapi yang ku lakukan hanya mondar-mandir, dari kamar ke ruang tamu kembali ke kamar lagi, lantas teras. Angin laut serasa membelai dari kejauhan, mengirimkan aroma asin yang khas. Ku lirik ponselku yang tergeletak di meja kecil tak jauh dari tempatku berdiri. Dari tadi layar itu terus berkedap-kedip. Entah kali keberapa nama itu muncul. Nada itu terus merayu-rayu minta diangkat. Akhirnya…

“Ya… halo, ada apa?” sapaku enggan.

“Ada di mana nih?” tanya suara bareton yang bertahun-tahun telah menyapa telingaku.

“Apa pedulimu?”

“Bukan begitu, saya khawatir dengan kondisi Bapak,” ralatnya buru-buru.

“Khawatir padaku atau pada salary-mu, heh?” tanyaku ketus.

“Kan sudah ku bilang jangan cari saya sampai akhir minggu ini,” gugatku lagi.

“Ehm… tadi saya telepon Susan dan Lori tapi mereka tidak bersama Bapak, jadi saya pikir…”

“Saya sendiri, jika itu yang mau kau tanyakan. Puas?”

“Sebentar, beri saya waktu.”

“Oke.”

“Saya pikir kita bisa buat eksepsi di pengadilan jika Bapak sampai terseret, karena…”

“Stop stop stoop…jangkrik, kau pengacara atau bukan, ha? Berpikirlah step by step. Ku pecat kau nanti,” klik, ku putuskan HP dengan jengkel.

Mungkin aku perlu mencari pengacara baru, aku mulai menimbang-nimbang. Aku perlu pengacara yang cerdas, yang bisa mencari solusi yang juga cerdas. Dia tak cocok jadi seorang pengacara. Aku merasa jadi the godfather, dan dia anggota mafiaku. Dia punya kesetiaan tanpa cela memang, tapi itu dulu. Kini aku mulai sangsi,jangan-jangan…

Eksepsi? Huh, siapa yang ingin kasus ini sampai di pengadilan?Akan ku cari celah itu. Biarlah duit haram itu terbang, aku tak peduli. Itu hanya setitik debu di ujung sepatuku. Yang ku pikirkan hanya citraku akan hancur, dan kursi empukku akan berpindah tangan. Segala gelisah itu berputar-putar di kepala bagai angin puting beliung menyerbu pantai. Sebentar kemudian tanganku telah meraih sebotol wine dan cerutu kegemaranku.

Cerutu dan wine, adalah dua hal yang ku gilai selain harta. Jika ada yang bertanya kenapa, alasanku simple saja… keduanya adalah selera. Selera membentuk citra. Citra mewakili sosialita. Cerutu trinidad asal Kuba itu tentu tak sembarang orang bisa menghisap aromanya. Apalagi bagi seorang petani tembakau sebatang cerutu adalah ironi, ketika kemakmuran jadi impian belaka. Karena seringkali mereka terpaksa menjual tembakau hasil panen itu ke tengkulak dengan harga rendah. Para tengkulak lah yang berpesta.

Aneh, menghisap cerutu di tengah keheningan membawa pikiranku ke mana-mana. Aku teringat pamanku dan petani-petani tembakau di desanya yang sehari-hari hanya sanggup merokok kawung. Dia akan mencubit lempengan tembakau dan melintingnya dengan daun nira. Gumpalan-gumpalan asap itu cukup mengusir dingin dan keinginan yang tak kunjung menyapa. Bagi mereka cukuplah hidup diisi dengan hal-hal yang sederhana. Usai meladang, mereka akan mengobrol bergerombol di teras-teras depan rumah, berkemul sarung dan menghabiskan berlempeng-lempeng tembakau. Topik mereka pun tak jauh seputar tembakau.

Begitu pula Bapakku dulu, hidupnya tak jauh-jauh dari tembakau. Dia berdagang tembakau di pasar rakyat, berharap bakul tembakaunya kosong ketika pulang. Beda bagiku, sebungkus tembakau itu melambangkan status.

Namun kini status itu sedang diujung tanduk. Semua karena wanita ular itu. Dia telikung semua kepercayaanku. Dia menggunting dalam lipatan. Rupa eloknya telah memabukkanku, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana dengan mudahnya ku goreskan tanda tangan di blangko kosong itu.

Yups… Tania, perempuan bohai berparas elok itu telah menjeratku dengan blangko kosong. Ku goreskan tanda tanganku dalam lift di atas punggungnya. Sambil mengintip ke balik payudara ranumnya yang terbuka, tintaku menari-nari di atas punggungnya.

“Nah, ini tiket untuk melipat gandakan kekayaan Bapak,” jelasnya dengan senyum menggoda.

“Dari pada mengendap di bank dengan bunga yang tidak seberapa, lebih baikkan diinvest kan ke bidang yang lebih menguntungkan.”

Dia menyelipkan kertas itu dalam map abu-abu. Map itu dikepitnya di ketiak bak barang berharga. Aku lebih tertarik dengan busana yang dia kenakan. Rok mini dan blazer berkancing rendah dengan warna senada. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya. Hemm…aku menghela napas.

“Gimana kalau kita makan siang?” ku tembakkan amunisi pertama.

Matanya mengerjap sambil mempermainkan jemari-jemari lentiknya. Alamak…bak gadis belasan saja, padahal jurus apa sih yang tidak kau kuasai? Tapi aku menikmati bahasa tubuhnya.

“Gimana kalau lain kali? Kan aku harus buru-buru memproses ini.”

Sambil mengibaskan map di tangannya, matanya menyimpan sorot lain….bahwa masih banyak waktu untukku. Mungkin aku geer? Tapi siapapun lelaki itu akan geer jika bersama dia.

Kami berpisah di basement, dan dia berjanji akan datang kembali ke kantor mengantarkan klip bukti setoran asuransi yang telah kami sepakati.

Itu terakhir aku menatap gemulai lenggok tubuhnya, karena setelah kasus penggelapan dana nasabah yang dilakukan Tania itu merebak aku tak berani menghubunginya. Kini namaku terseret, dan segala asal-muasal simpananku yang menggunung itu akan ditelusuri. Dan ujung-ujungnya jabatanku lah taruhan. Jabatan yang ku raih lewat cara kotor.

Kini jubah malam mulai menutupi langit. Namun tak jua ku temukan celah itu. Beberapa botol wine telah kosong, dan berbatang-batang cerutu yang ku hisap menyisakan puntung. Sejenak aku merasa rileks… serasa sayap-sayapku mengepak tinggi, kemudian…bruks, aku pun terjatuh di karpet ruang tamu.

*****

Ku kibaskan blangko kosong berisi tanda tangan salah satu consumer-ku. Bertambah lagi tiketku untuk menimbun harta. Toh, kebanyakan harta itu hasil jarahan mereka. Beberapa bahkan menggunakan namaku untuk rekening mereka. Mereka adalah langganan kelas premium yang mudah dirayu. Apalagi para lelaki itu. Naluri primitif itu, aku tahu. Hidung mereka akan mekar hanya dengan sebuah kerlingan. Lucu, bagiku mereka tak ubahnya anak kecil yang diberi permen. Sambil menjilati jemari, mereka bahkan abai walau batu menghadang.

Sengaja ku cegat dia di lift saat menuju basement. Aku telah duduk cukup lama di lobby mengawasi dia. Aku telah hapal jadwalnya. Dia terburu-buru waktu itu. Sekarang tanyanya terkejut ketika ku sodorkan blangko itu. Ehm…ya, lebih cepat lebih baikkan jawabku berusaha setenang mungkin. Dan tangannya menari-nari di atas punggungku. Dan tentu saja aku tau, matanya menyusuri setiap lekuk belahan dadaku. Dan…hopla, satu lagi korban terperangkap. Terperangkap bagai lalat di jaring laba-laba. Mereka naïf, berpikir jaring itu bisa koyak.

Kalau tidak salah dia seorang pejabat teras. Bertahun-tahun dia jadi costumer-ku. Hampir tak ada rahasia di antara kami, bahkan tentang duit-duit itu. Dia perampok, dan aku merampok dari dia. Adil bukan?

Aku menikmati peranku.Serasa jadi ras unggul di kalanganku. Itulah mengapa aku menggilai kuda pacu. Kuda Arab adalah salah satu kuda pacu terbaik. Adrenalinku akan tertantang begitu melihat wujudnya. Tentu saja ada satu lagi kuda special, untuk ruang pribadiku. Aku sedang bersama dia ketika delapan orang lelaki mengetuk pintu apartemenku. Sejak itu duniaku berubah.

Kini aku ditempatkan di sebuah sel berukuran 3X4. Dan mereka terus menerus mencecarku dengan pertanyaan yang hampir sama. Apa modusku?Aku tidak selicik yang mereka sangka. Ku lakukan ini karena kesempatan menganga. Bukankah para costumer itu yang telah memasangkan sumbu? Dan blaarr.. aku tinggal menyulutnya.

Baiklah, ku beritahu satu jurus rahasiaku. Gampang saja, aku rayu mereka agar menginvestasikan dana mereka ke bidang yang telah ku siapkan. Biasanya ku tawarkan agar mereka memindahkan sebagian dana itu ke asuransi. Alasan kliseku biasanya karena keuntungan yang lebih besar. Jika mereka setuju, maka ku telusuri waktu-waktu sibuk mereka, hingga blangko-blangko kosong itu kadang ditandatangani sambil lalu. Gampangkan?

Blangko kosong itulah tiketku untuk memindahkan sejumlah uang yang telah disetujui untuk ditansfer. Aku tinggal melengkapi dokumen, dan menyuruh salah satu anak buahku untuk bekerja. Dan uang-uang itu pun mengalir ke rekeningku.

Tapi aku lelah… kenapa pertanyaan para penyidik itu berputar-putar? Mungkinkah aku sedang dijadikan pancing untuk menangkapiKakap-Kakap itu? Kini semua teman-teman menjauhi, nyaris tak ada yang menhubungiku lagi. Bahkan ponselku seperti mati suri, tak ada tanda-tanda kehidupan. Dan aku merasa surprise ketika layar itu tiba-tiba berkedip. Wow.. apa yang membuat dia nekat menghubungiku?

*****

Di sebuah ruangan yang di lengkapi teknologi penyadapan telepon yang cukup canggih, ke empat lelaki itu menatap tak percaya pada layar server yang terus berkedap-kedip. Mereka terlonjak gembira. Pancing itu telah disambar. Kemudian samar-samar suara itu terdengar…

Suara lelaki,”Haloo… di mana kau sekarang?”

Hening sejenak, si wanita menjawab ragu…

“Ada apa?”

“Arggh… kau perempuan laknat. Tak cukup kau rampok uangku, heh? Kenapa kenapa namaku kau sereet? Pasti kauu…”

“Aku tidak mengerti maksud Bapak.”

“He eh, aku tau aku tau kau menjebakku. Akan ku balas, awas kau.”

Kemudian terdengar erangan panjang. Nampaknya ponsel itu masih dalam posisi on. Mereka masih menunggu, tapi hanya dengkuran dan ocehan yang tak jelas. Mereka saling berpandangan dalam senyum.

“Dia mabuk kayaknya.”

Salah satu dari lelaki itu beranjak, dan menyimpan transkrip hasil rekaman ke sebuah disk.

Kebon Jeruk, April 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun