Mohon tunggu...
Dewi VinaAyun
Dewi VinaAyun Mohon Tunggu... Lainnya - Dewi A'yun

Dewi Vina Qurrotu A'yunil Mukarromah. Berasal dari Malang, dan seorang Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Timur Tengah "Sunni-Syiah" Pasca Revolusi Islam Iran

13 Desember 2020   19:16 Diperbarui: 13 Desember 2020   19:31 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran para pendukung Khomaeni (Sumber foto: CNN Indonesia)

Sunni berasal dari kata Sunnah yang berarti tradisi. Ahlu Sunnah berarti orang-orang yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad Saw. Mereka mengikuti tradisi-tradisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, baik secara lisan ataupun amalan.

Ahlu Sunnah merupakan julukan yang khusus ditujukan untuk pengikut yang berpegangang teguh pada sunnah Nabi Muhammad sebagai arus utama, dan juga digunakan untuk menunjukkan siapa saja yang mengikuti 4 madzhab (Madzhab Hambali, Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi'i, Madzhab Maliki). Ahlu Sunnah juga ditujukan kepada kelompok yang menerima kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan seterusnya sebagai pemimpin, baik agama maupun negara setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 632 M. Sedangakan orang-orang yang bersikeras menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai satu-satunya khalifah yang berhak dan keturunannya disebut dengan Syi'ah.

Sedangkan Syi'ah berarti pengikut atau pendukung ynag mengarah pada dukungan terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Julukan ini pertama kali disebutkan pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad pada pengikut Ali. Namun secara politik muncul pada masa wafatnya Nabi Muhammad atau ketika pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah penerus Nabi Muhammad. Mereka berpendapat bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar karena memiliki pengetahuan paling luas tentang hukum-hukum islam. Syi'ah berkembang pesat ketika masa kekhalifahan Ali. Namun dalam kalangan Syi'ah sendiri juga terdapat perbedaan sikap dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya. Terbagi menjadi kalangan ekstrim dan kalangan moderat. Kalangan moderat yaitu orang-orang yang hanya terbatas mengutamakan Ali tetapi tidak megkafirkan yang lain, dan tidak pula memandang Ali sebagai orang yang lebih utama dari manusia yang lain, sedangkan kalangan ekstrim ialah sebaliknya sangat "mendewakan" Ali.

Pemikiran politik Sunni bahwa pemerintahan ialah manusia bekerja sama untuk mearih tujuan hidup sesuai syari'at yang akan menghasilkan kebaikan bagi mereka baik kehidupan dunia maupun akhirat. Namun aliran Sunni masih membatasi dalam pemilihan seseorang sebagai khalifah harus laki-laki dan memiliki garis keturunan dari suku Quraisy atau dari kelompok mereka sendiri.

Pemikiran politik Syi'ah menekankan bahwa keturunan Nabi Muhammad sudah dilegitimasi untuk memegang kepemimpinan bagi umat islam karena memiliki kemampuan keilmuan yang tinggi. Syi'ah meyakini bahwa kepemimpinan merupakan warisan secara turun-temurun dari Nabi Muhammad kecuali dilakukan penetapan atau penunjukan. Bagi Syi'ah isu terpenting yaitu loyalitas terhadap Ali dan penegasan bahwa hak khalifah hanya dapat kepada keluarga Ali. Hal ini mengarah pada gerakan politis melawan Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah yang terjadi pada abad 7 dan abad 8 M.

Akar dari konflik yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah ialah sama-sama saling memusuhi dan saling mengakfirkan satu sama lain. Syi'ah menggap bahwa Sunni adalah musuh yang sebenarnya karena tidak mengakui adanya konsep imamah yang dianut Syi'ah. Begitu juga sebaliknya, Sunni menganggap kafir Syi'ah karena menganggap bahwa Ali memiliki sifat ketuhanan sehingga Syi'ah menuhankan Ali.

Isu perbedaan politik yang terjadi diantara umat Islam sebenarnya sudah sangat lama. Tetapi pada era modern isu itu terus dihidupkan kembali. Pada masa kini isu tersebut semakin dihidupkan dimana-mana semenjak adanya Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Revolusi Islam Iran juga disebut sebagai pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah Islam.

Revolusi tersebut mengangkat isu-isu yang terkait dengan kebangkitan kontemporer seperti keyakinan, kekuasaan, politik, dan kebudayaan. Dilakukan penekanan pada penolakan terhadap budaya pembaratan, pemerintah yang otoriter, dan pembagian kekayaan yang tidak merata. Pasca terjadinya revolusi pada tahun 1979, perpolitikan di Iran tidak dapat terlepas dari agama dan politik.  Selain itu doktrin tentang imamah selalu dilancarkan oleh Khumaeni sejak tahun 1970an. Setelah ia berhasil menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa sebelumnya, kemudian mendirikan Republikan Islam Iran. 

Iran dan Irak pada tahun 1980-1988 mengalami perang yang disebut dengan Perang Teluk. Perang ini tidak telepas dari pengaruh Sunni dan Syi'ah. Hal ini juga didasari oleh kekhawatiran Saddam Hussein dan negara-negara Sunni yang berada dibawah kekuasannya terhadap perlawanan Syi'ah yang dibawa oleh Khumaeni dalam Revolusi Islam Iran.  Akan tetapi konflik kedua negara tersebut juga didasari oleh perbatasan negara, dimana diawali dengan Irak yang melewati perbatasan. Namun sebenarnya konflik ini sudah berjalan cukup lama, dimana pada tahun 1975 Iran-Irak membuat kesepakatan untuk membagi jalur pelayaran untuk kedua negara tersebut. Tetapi kemudian perjanjian tersebut dicabut oleh sebelah pihak yakni Irak ketika Iran mengalami Revolusi Islam. Irak menuduh adanya penghasutan oleh pemerintah revolusioner Islam Iran kepada masyarakat Syi'ah Irak supaya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Saddam Hussein. Hal ini mengakibatkan peperangan yang terjadi selama 8 tahun lamanya dari 22 September 1980 sampai 20 Agustus 1988.

     Konflik yang berlarut-arut terjadi diantara Sunni dan Syi'ah ikut mewarnai dalam dunia politik di kawasan Timur Tengah pasca The Arab Spring. Hal ini dilihat dari konflik Suriah yang tak kunjung selesai. Dalam konflik Suriah ada campur tangan negara-negara yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang menggandeng negara Sunni seperti Saudi Arabia dan Uni Soviet dan China menggandeng Iran yang mayoritas berpenduduk Syi'ah. Hubungan Iran dan Saudi Arabia sudah sejak lama memiliki masalah baik dalam bidang politik, strategis, maupun ideologis. Iran dan Saudi Arabia berebut pengaruh dan supremasi di Timur Tengah dan Teluk.

Pada konflik Suriah dapat terlihat bahwa Iran mendukung rezim Bashar al-Assad yang Syi'ah, pada masa kepemimpinannya masyarakat Sunni yang mayoritas terpinggirka. Sedangkan Saudi Arabia mendukung kelompok yang mayoritas Sunni. Iran yang memiliki nuklir juga menjadi masalah bagi Saudi Arabia. Sebagai primus inter pares yang terkemuka diantara negara-negara islam, Saudi Arabia dapat disaingi oleh Iran. Dari konflik Suriah berpengaruh pada Lebanon.

Pemerintahan Lebanon terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok pertama yang terdiri dari politisi Sunni dan didukung oleh Amerika Serikat, dan kelompok kedua gabungan kekuatan-keuatan Syi'ah yang didukung oleh Suriah dan Iran. Peristiwa paling buruk di Lebanon terjadi pada tahun 2012 ketika terjadi aksi unjuk rasa menentang rezim Basyar al-Assad dan terjadi bentrok antara Sunni dengan Syi'ah dan menewaskan tujuh orang Sunni serta 60 lainnya luka.

Sebagaimana yang terjadi di Suriah dan Lebanon, Yaman juga terjadi perang saudara yang mengklain masing-masing dirinya sebagai pemerintah Yaman. Kelompok pertama mendukung pemerintahan Abd Rabbuh Mansur Hadi yang dilindungi oleh Saudi Arabia dan berpaham Sunni. Sedangkan kelompok kedua pihak yang mendukung komite revolusi yang dibentuk oleh kelompok Houthi yang didukung oleh Iran dan berpaham Syi'ah. Perang sipil di Yaman dimulai pada tahun 2014, ditandai dengan ibukota Yaman dan kota-kota besar lainnya yang diambil alih oleh kelompok Houthi.

Pada Maret 2015, gabungan negara-negara Teluk Arab yang dipimpin oleh Saudi Arabia melancarkan kampanye isolasi ekonomi dan serangan udara terhadap Houthi dengan dukungan logistik dari Amerika Serikat.

Setelah aksi kampanye militer tersebut, Hadi membatalkan akan pengunduran diri yang diajukannya. Juli 2016 terdapat dua kelompok yang bersekutu, yaitu kelompok Houthi dan mantan presiden yang diturunkan pada 2011 Ali Abdullah Saleh.  Mereka bersekutu untuk mendirikan dewan politik yang digunakan untuk memerintah Sana'a dan Sebagian Yaman utara. Namun pada Desember 2017, Saleh memutuskan untuk menghentikan kerja sama yang dilakukan dengan Houthi. Ssaleh juga memerintahkan pasukannya untuk mengangkat senjata melawan Houthi. Namun mereka mengalami kekalahan hanya dalam dua hai dan Saleh terbunuh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun