Implikasi dari pandangan dunia islam yang kholistik itu melahirkan pertimbangan etika dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Salah satu bidang etika yang ditentukan oleh syariah adalah kategorisasi tindakan ekonomi kepada aspek-aspek yang dihalalkan dan diharamkan. Ketentuan syariah ini boleh jadi dipandang sebagai perumusan teoritis yang mencampuradukkan antara ranah ekonomi dan wilayah hukum (agama), seharusnya dianggap tidak analistik atau tidak ilmiah tetapi jelas sekali bahwa ekonomi islam mustahil bisa lari dari masalah ini karena etika berkaita erat dengan penentuan kebijakan ekonomi yang ditjukan kepada masyarakat (masyarakat Islam).
Menurut Arif Hoetoro (2007:210) Al-Faruqi menyatakan pentingnya etika ekonomi ini karena perilaku ekonomi manusia memang dapat menciptakan atau merusak kebahagiaan hidup. Itu sebabnya mengapa agama berusaha untuk menutun tindakan-tindakan ekonomi manusia kepada norma-norma etika dan tanggung jawab. Islam sebagai agama penegasan dunia dengan sendirinya berkepentingan untuk mengatur ekehidupan ekonomi manusia menurut standard ekonomi yang ditentukan oleh penciptanya. Oleh karena itulah, muncul dictum islam yang sangat terkenal bahwa agama adalah muamalah, yakni perlakuan manusia terhadap sesame (innama ad-diiin al-muamalah). Dari dictum agama inilah landasan pacu ekonomi islam dibangun.
Sebagai contoh bahwa etika (agama) memiliki relassi yang kuat dengan tindakan ekonomi dapt di jumpai dalam Al-Qur-an Surat Al-Maun 107 (1-3) yang artinya : "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mengankjurkan untuk memberi makan orang miskin maka celakalah bagi orang-orang yang lalai dari sholatnya yang membuat riya'dan enggan menolong dengan barang yang berguna". Ismail Raji Alfaruqi menyatakan bahwa agama, dalam keseluruhannya ternyata dijadikan setara dengan kategori material. Ayat diatas berakhir dengan celaan terhadap orang-orang yang menyatakan dirinya muslim bahkan juga melaksanakan sholat tetapi enggan dalam membantu orang-orang miskin. Maka dengan ini islam menyatakan bahwa keseluruhan nilai religiusitas adalah sepadan dengan pemenuhan kebutuhan material orang lain yang dilakukan oleh setiap muslim.
Dalam islam, kaitan erat antara spirit dan materi membentuk pribadi manusia yang menyeimbangkan semangat asketisme dan kerja keras. Tetapi sejak spirit dan materi dipisahkan oleh pencerahan dibarat, kapitalisme tidak pernah lagi mengizinkan keduanya untuk bersatu. Ekonomi modern terlalu menekankan pikiran dan tindakan manusia keluar dari pertimbangan etika apalagi ajaran-ajaran agama. Dengan sendirinya ekonomi modern pun menjadi kehilangan relevansi aspek spiritualitasnya dibalik gejala-gejala material.Â
Padahal, faktanya terdapat suatu nilai penting dari tatanan spiritual yang tetap bertahan di alam kasat mata. Ilmu pengetahuan pra-modern (terutama dalam tradisi ilmiah islam) telah membuktikan hal itu. Dalam bahasa al-Qur'an, dalam dikatakan mengandung dalam dirinya jejak Tuhan, baik fenomena alam maupun sosial terdapat tanda-tanda (ayat) Tuhan sehinnga keduanya dipandang sebagai wahyu ilahi yang sebanding dengan Al-Qur'an. Dengan demikian, tugas ekonomi islam adalah menyatukan kembali dimensi material dan spiritualitas ini kedalam teori dan praktek ekonomi modern.
:
 ( )
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah baik dalam mencari harta karena sesungguhnya jiwa manusia tidak akan puas / mati hingga terpenuhi rezekinya walaupun ia telah mampu mengendalikannya (mengekangnya), maka bertaqwalah kepada Allah SWT dan berbuat baiklah dalam mencari harta, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram". (HR.Ibnu Majah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H