Hingga akhirnya karnaval tersebut dibatalkan karena hujan dan badai tak kunjung reda, kemudian orang tua dan anak-anak yang mengikuti karnaval di distrik Ngluyu terpaksa membatalkan dan pulang karena belum ada tanda-tanda hujan dan badai akan berhenti... Namun anehnya, hal ini setelah seorang anak dengan parang-tema yarik yang rusak pulang ke rumah dan di tengah perjalanan sang ayah melemparkan anaknya ke dalam selokan di perbatasan kabupaten lain, tiba-tiba hujan berhenti. Kita tidak tahu apakah mitos ini benar, namun banyak fakta yang dipublikasikan tentang mitos ini.
Dari beberapa penjelasan saya di atas yang mengungkap mitos-mitos tentang tiga desa di Kecamatan Ngluyu, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap desa atau tempat pasti mempunyai mitosnya masing-masing. Namun, kepercayaan terhadap mitos-mitos tersebut berakar pada keyakinan masyarakat itu sendiri, seperti percaya atau tidaknya mereka terhadap beberapa mitos yang tersebar luas dan benar adanya.
Faktanya, mitos yang beredar tersebar di setiap desa, tidak hanya tiga desa di kawasan Ngluyu saja. Namun masih ada tiga desa lagi yang mitosnya belum saya uraikan, yakni Desa Tempuran, Desa Bajang, dan Desa Sugiwaras. Pasalnya di desa tersebut juga terdapat beberapa tempat keramat dan tempat yang dipercaya oleh masyarakat setempat, namun sejauh ini belum ditemukan mitos atau rumor mengenai tempat keramat tersebut..
Dari isu diatas bisa dikatakana bahwa isu tersebut ada sangkut-pautnya dengan pemikiran salah satu filsuf yang bernama AUGUSTE COMTE. Bahwa kehidupan tidak lepas dari pikiran positif dan supranatural.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H