Malam ini, sembari saya melihat langit-langit depan rumah, saya terbayang akan sebuah kondisi yang saya temui pagi ini. Alhamdulillah pagi ini cerah, sayup sayup saya mendengar anak-anak kecil sedang bermain di lapangan teduh nan asri disebelah rumah. Ketika itu, saya melihat seorang anak laki-laki kecil yang bermain sambil membawa buku, entah itu buku sekolah atau buku bacaan biasa.Â
Awalnya, saya memperhatikan, kemudian lama kelamaan mulai tumbuh rasa ingin tahu dibenak saya mengenai apa yang sedang dia lakukan dengan buku itu dalam kondisi dimana ia sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
10 menit pertama ia bermain dengan teman-teman lainnya, tetapi 5 menit kemudian dia duduk menepi dibawah pohon besar sambal membaca buku yang telah dia bawa sebelumnya. Sambil menatapnya dari kejauhan, saya mulai terbesit pikiran, wah,, andai semua anak-anak lebih dibiasakan untuk membaca buku daripada bermain gadget.Â
Sama halnya dengan era 'kekinian' yang saat ini sedang trend. Semua serba digital. Dari buku-buku fisik, pelayanan kebutuhan sehari-hari, uang digital bahkan pernah saya temui juga tersedia pacar virtual yang telah disediakan oleh sebuah pengembang AI (Artificial Intelegent) di sebuah kota besar di Indonesia. Semua serba digital.
IoT (Internet of Thing) memang sangat berguna di era revolusi industry 4.0 seperti saat ini. Tetapi, menurut saya pribadi, kecanggihan teknologi akan tepat digunakan oleh orang yang tepat pula. Betapa tidak, luasnya dunia maya dan kayanya sumber informasi yang terdapat di Internet yang dijembatani oleh canggihnya aplikasi yang tersedia di gadget tentu sangat berdampak bagi kehidupan kita, bahkan banyak juga yang berdampak bagi psikis orang yang membaca atau melihat informasi tanpa adanya filter dari orang tersebut.
Filter yang saya maksudkan adalah adanya kemampuan untuk menyaring sebuah informasi tentang dampak yang ditimbulkan akibat menyimak sebuah informasi di dunia maya. Tidak hanya itu, penggunaan gadget pun menurut saya harus diimbangi oleh rasa gemar untuk membaca dan memeriksa terlebih dahulu sebuah informasi yang didapat. Maka dari itu, mengapa saat ini hoax lebih mengancam bangsa kita. Ya karena itu, minimnya literasi, cross check dan budaya meniru yang hingga saat ini masih cukup tinggi.
Saya akui, gemar berliterasi saat ini menjadi hal yang kurang menarik jika dibandingkan dengan menonton video. Sama halnya fungsi televisi, radio yang telah tergerus oleh kecanggihan internet dan jaman di masa sebelumnya. Membaca buku, menulis hanya menjadi kebiasaan sebagian orang saja. Padahal, jika sedari kecil membiasakan dan biasa dengan buku dan tulisan, maka secara tidak langsung kita menyeimbangkan antara otak kanan dan kiri untuk melihat dan menimbang sebuah informasi yang masuk ke otak kita.
Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta.
Najwa Sihab-Duta Baca Indonesia
Ya, kutipan tersebut adalah benar adanya. Membaca sebenarnya bukan sebuah kegiatan yang membosankan. Membaca bukan sebuah kondisi yang identic dengan seorang kutu buku, seorang yang anti social. Malah, membaca melatih kita untuk peka dan menerima perbedaan dari dunia. Informasi yang ada pada sebuah buku tentunya tidak kita terima secara 'mentah', melainkan kita pun harus mengkombinasi dengan literatur lainnya, apalagi jika yang kita baca adalah sebuah karangan ilmiah.
Membaca bisa diawali dengan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu. Saya yakin, jika kita mengawali membaca dengan rasa keingintahuan terhadap suatu topik, maka halaman per halaman serasa kita membuka peti yang didalamnya masih ada peti lain yang harus dibuka dan memukan apa intinya.Â
Rasanya menarik, seperti menggali sebuah harta karun! Lantas, bagaimana jika halnya ada seseorang yang mengatakan bahwa setiap kali ia membaca kemudian ia tidak mempu mengingat bahan bacaan tersebut dalam waktu yang lama. Saya pun pernah mengalaminya dan saya rasa itu adalah hal yang normal.Â
Apa yang bisa saya lakukan? Biasanya, saya mencari momen yang pas sesuai suasana hati kapan saya harus membaca. Karena saya yakin, tidak ada seorang pun yang mau 'dipaksa' untuk membaca. Kemudian saya mulai membaca sampai rasa jenuh dan bosan itu tiba. Hal terakhir yang saya lakukan adalah menulis apa yang telah say abaca sebelumnya. Selain informasi dari buku yang telah saya dapat, saya pun mendapat keahlian dan kepekaan rasa dalam menulis.
Batas bahasamu adalah batas duniamu
Ludwig Wittgenstein
Percaya atau tidak, dengan membaca kita semakin cerdas dalam berargumen. Berargumen yang saya maksud bukanlah beragurmen kosong tanpa disertai dasar yang kuat, tetapi berargumen yang solutif. Semakin banyak buku yang kita baca, semakin kaya pula referensi kita. Apalagi, jaman IoT, buku sekarang tidak mahal dan dapat kita dapatkan secara daring, bahkan gratis. Lantas apa kendala dalam menumbuhkan minat baca?
Jawabannya adalah diri kita sendiri. Jaman semakin mudah, serba instan, kitapun lebih menyukai informasi yang instan pula, seperti dari video, broadcast message atau pesan berantai yang kita pun belum tahu kebenarannya. Coba bayangkan, jika kecanggihan internet dan teknologi dapat dipadukan seirama, tentu akan menghasilkan kualitas bangsa yang kuat, peka dan juga solutif. So, jangan gagap lagi ya dalam berliterasi, semua pasti dapat dilakukan asal kita mau dan kita suka.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H