Mohon tunggu...
Ambardewi
Ambardewi Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta seni, buku dan musik

Menulis adalah selera... Mengembangkan ide yang menjadi sebuah tulisan yang menginspirasi adalah tabungan ilmu yang bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri melainkan untuk orang lain.. Jangan memenjarakan ide.... keluar,,, dan tulislah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makhluk Kebiasaan

28 Maret 2020   09:44 Diperbarui: 28 Maret 2020   09:50 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Istilah ini yang saya temui dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya sekuel kedua milik Ajahn Brahm. Awalnya saya tidak mengerti apa yang hendak dikatakan dan maksud dari tulisan tentang si makhluk kebiasaan tersebut. Dalam tulisannya, Ajahn Brahm berangkat dari sebuah kondisi yang dinamakan obsesi dan adiksi yang katanya keduanya adalah jalur batin yang bisa menyebabkan maslaah besar dan kesulitan bagi banyak orang.

Setau saya antara obsesi dan adiksi adalah dua hal yang sangat erat kaitannya dan bisa saya ibaratkan sebagai dua sisi mata uang. Saat ada obsesi, pasti disana ada adiksi yang membuat kita cenderung melakukannya berkali-kali untuk 'memuaskan' hasrat dari obsesi pribadi kita. Itulah yang dapat saya pahami sebelumnya.

Kemudian, saya juga ingat tentang bacaan yang juga sangat luar biasa yang saya dapatkan dari buku legendaris yang berjudul Who Moved My Cheese karya Spencer Johnson. Dalam buku tersebut, kita juga diberitahu untuk selalu peka dan tanggap terhadap sebuah perubahan. Karena, memang, perubahan tidak bisa kita prediksi kapan datang dan berakhir. Jika kita menjadi makhluk kebiasaan yang selalu menjalankan kegiatan terus menerus dengan pola yang sama, hal tersebut dikhawatirkan akan membuat diri kita Lelah secara psikis bahkan fisik.

Pernah, disuatu hari, saya berpikir mengenai sebuah keadaan yang waktu itu kebetulan di rumah saya yang menuntut saya untuk berlaku di luar pola kebiasaan seperti sedia kala. Jika saya tidak bisa menerima perubahan atau tanggap dengan sebuah perubahan, maka dapat saya pastikan, saya akan menjadi stress bahkan tidak mampu untuk merespond kondisi dengan cepat.

Bagaimana jika keadaan tersebut terjadi pada kehidupan anda. Selama ini, misal anda selalu berada di zona nyaman anda seperti pekerjaan, rumah tangga dan keluarga yang membuat anda nyaman, tetapi entah mengapa kondisi tersebut berubah drastis. Mungkin bisa diakibatkan factor internal maupun eksternal atau mungkin karena faktor alam. Lantas apa yang anda bisa lakukan secepatnya? Menyadari kemudian meratapi baru melakukan sesuatu atau sebaliknya, melakukan sesuatu terlebih dahulu baru kemudian berpikir apa yang selanjutnya terjadi.

Saya ingin bertanya pada anda semua, apakah seni untuk berpikir cepat, tanggap dan peka dapat diperoleh dengan kita menjadi salah satu dari makhluk kebiasaan tersebut? Hmm,, saya rasa akan susah. Malah sebaliknya, jika kita ingin menjadi makhluk yang fleksibel maka jangan biasakan diri untuk menjadi makhluk kebiasaan.

Sedikit-sedikit "lhoh, biasanya begini, biasanya begitu..". Hal semacam inilah yang saya sering dijumpai di berbagai elemen kehidupan. Dan parahnya, jika terkena alasan "biasanya..", orang tersebut tidak mampu memutuskan hal yang cepat dan tepat dan cenderung takut untuk mengambil langkah selanjutnya.
Bagi saya, hal tersebut adalah factor yang sangat merugikan dan membuat kreativitas dalam hal apapun seketika tumpul dan lumpuh dalam waktu sekejap.

Mengapa kita tidak berani mengambil langkah atau pola yang berbeda tiap harinya? Minim, kita melatihnya dengan hal-hal kecil saat berada di rumah. Seperti pergi ke kantor atau sekolah dengan rute yang berbeda, mencoba hal-hal baru tiap harinya, mencoba cara belajar yang berbeda tiap hari dan apa saja yang membuat kita semakin kreatif.

Intinya, pada saat kita sudah memagari diri dengan kata "biasanya..", maka itulah batas kemampuan kita untuk kreatif. Dan percayalah, di jaman serba canggih, serba cepat, kita dituntut untuk lebih bisa merespond akan perubahan, belajar dari segala arah dan media apapun. Intinya, pola seragam yang memang ditanamkan sejak dulu (kalua tidak seragam pasti dilihat berbeda) sudah saatnya disingkirkan, bahkan kalu bisa dibuang jauh-jauh. Apakah sulit? Tidak ada kata sulit jika kita bertekad untuk membuatnya berada di dalam diri kita.

Saya juga pernah ditanya oleh seorang teman terkait dengan makna keberagaman. Saya bicara terus terang, saat kecil, kita diajari menggambar pemandangan dengan pola yang sama, memakai baju sekolah dengan seragam yang sama, semua harus sama. Apa yang terjadi, jika ada yang berbeda, maka feedback yang muncul pertama kali adalah muncul rasa aneh. Rasanya aneh jika berbeda. Padahal tidak. Keberagaman bagi saya adalah suatu keadaan yang tidak menuntut adanya kesamaan dan didalamnya ada hak 'diakui dan diterima' untuk menjadi berbeda. Barulah hal tersebut menjadi keberagaman.

Singkat cerita, apa yang mau saya sampaikan adalah saya merefleksi diri sendiri dan saya bagikan ke anda untuk sama-sama menghilangkan pola kebiasaan yang ada di kehidupan diri kita, sehingga hal tersebut jika hilang atau berubah keadaanya bisa jadi sangat menyakitkan. Entah itu kebiasaan dengan pasangan, keluarga apapun yang membuat rasa candu. Hal ini pasti menjadi salah satu panah yang paling menyakitkan jika terlepas.  

Pilihan itu ada pada diri kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun