Mohon tunggu...
Ni NyomanDewi
Ni NyomanDewi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lascarya, Falsafah Dasar yang Wajib Dimiliki Pendidik

20 Maret 2019   21:20 Diperbarui: 20 Maret 2019   21:21 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah siapkah pendidik menyiapkan diri untuk mengembangkan pembelajaran sesuai tantangan Revolusi Industri 4.0? 

Pertanyaan ini muncul seiring perkembangan industri dunia yang menuntut adanya inovasi dalam berbagai sektor khususnya yang berkaitan dengan teknologi yang serba digital. 

Revolusi Industri 4.0 diterima secara global sejak Kanselir Jerman Angela Merkel menyorotinya di Hanover Fair 2011 (Ratna Wardani, 2018). Perkembangan industri dunia jelas berimplikasi pada pendidikan sebagai ruang untuk menyiapkan work skill peserta didik agar mampu bersaing dalam bidangnya masing-masing. Work skill yang dimaksud yaitu hard skill dan soft skill. Work skill merupakan kemampuan dibidang profesional sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). 

Namun menurut saya, yang tidak kalah penting adalah soft skill berupa karakter dari peserta didik itu sendiri karena meskipun memiliki kemampuan profesional yang tinggi tetapi bila tidak disertai dengan karakter hidup yang benar maka seseorang bisa saja profesional tetapi tidak memiliki profesionalisme kerja.

Fenomena yang tampak belakangan ini justru menunjukkan degradasi karakter dari masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Pertama, di beberapa media online tersebar video yang menampilkan peserta didik bersikap tidak hormat kepada guru; kedua, fenomena sedikitnya angka kelulusan tes CPNS yang diikuti fresh graduated maupun yang belum lulus pada tahun-tahun sebelumnya, ketika hasil tes CAT menunjukkan nilai mereka belum memenuhi passing grade, tanpa melakukan introspeksi diri langsung menyalahkan soal-soal yang dianggap sulit, sikap mental semacam ini cenderung berbahaya apalagi jika mereka melamar sebagai guru! 

Bayangkan jika seorang guru cenderung menyalahkan benda mati daripada menyusun strategi akan jadi apa generasi penerus yang diajarnya kelak?. Ketiga, banyaknya penyebaran hoax melalui jejaring sosial bahkan terkadang dilakukan oleh kaum terdidik.

Masalah-masalah tersebut jelas ada kaitannya dengan pendidikan sebagai ruang belajar bagi peserta didik mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun, keluarga sebagai pembentuk kepribadian anak pada masa awal, akan tetapi sekolah formal maupun informal tetap memiliki peran vital bagi pembentukan karakter peserta didik. 

Sekolah merupakan ruang bagi peserta didik untuk menyiapkan dirinya menghadapi berbagai persoalan dari tingkat mudah hingga sulit, bukan ruang yang penuh tuntutan tanpa diberikan pedoman untuk berpikir dan bertindak. 

Secara langsung maupun melalui media, saya melihat bagaimana peserta didik dituntut untuk memiliki kompetensi tinggi, dituntut untuk mahir dalam memanfaatkan teknologi tanpa disertai acuan dasar termasuk penyebab kenapa mereka harus melakukan itu. 

Hal ini menyebabkan peserta didik menjadi para penghafal materi, pintar dalam memanfaatkan jejaring sosial tetapi miskin karakter karena mereka tidak tahu tujuan akhir dan korelasi antara apa yang dipelajarinya dengan manfaat untuk hidup mereka kedepannya. 

Stake holder pendidikan, dalam hal ini yang bertanggung jawab secara moril terhadap kemajuan peserta didik adalah pendidik/guru sebagai ujung tombak dari pendidikan yang berlangsung yang mestinya memahami laju perubahan industri yang sekarang memasuki era 4.0 yang menuntut adanya inovasi dalam pembelajaran, termasuk perubahan pendekatan pembelajaran menuju heutagogy (self-determinded learning) yang diimbangi dengan pendidikan karakter justru masih menggunakan pendekatan andragogi dan pedagogi. 

Di beberapa sekolah juga masih menyusun soal-soal ulangan harian, tengah semester, maupun penilaian akhir semester yang bertipe low order thinking skills (LOTS) alih-alih menyusun soal bertipe high order thinking skills (HOTS) sehingga ketika peserta didik telah lulus dari satu jenjang menuju jenjang lainnya kemudian dihadapkan pada soal bertipe HOTS akan cenderung menyalahkan soal yang sulit ketika mendapat nilai sedikit.

Oleh karena itu sebagai ujung tombak dari pendidikan yang berlangsung, seorang pendidik wajib memiliki kompetensi profesional dibidangnya dan yang jauh lebih penting adalah falsafah hidup sebagai pendidik. Salah satu yang bisa diadaptasikan adalah lascarya yang merupakan falsafah masyarakat Bali. Lascarya dapat diartikan sebagai keikhlasan dalam melakukan sesuatu. 

Revolusi industri dan pendidikan boleh terus berkembang, akan tetapi pendidik wajib memiliki keikhlasan dalam bekerja. Segala sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas tentunya akan berpengaruh pada bagaimana pendidik menyelesaikan tanggung jawabnya dan menuntaskan janjinya pada negara, masyarakat termasuk dirinya sendiri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika seorang pendidik sudah lascarya maka bukan tidak mungkin ia akan melakukan hal-hal berikut:

  • memiliki visi untuk menciptakan generasi emas Indonesia
  • menjadi pendidik yang merdeka dikelasnya berarti menjadi pendidik yang tidak hanya berpedoman pada kurikulum dari pemerintah, namun mengembangkannya sesuai tuntutan DUDI
  • memahami pentingnya pendidikan yang berkorelasi dengan industri dunia
  • mengembangkan kemampuan diri misalnya dengan berinisiatif sendiri untuk mengikuti workshop tanpa harus menunggu subsidi biaya dari pemerintah
  • berinovasi mengembangkan pendekatan heutagogi misalnya diawal semester membuat kesepakatan dengan peserta didik terkait proses belajar dan penilaian, termasuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dengan menambahkan selingan brain game baik dari teknologi komputer maupun permainan tradisional.
  • memanusiakan peserta didik dengan cara memberi contoh bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, termasuk bagaimana memahami kemampuan masing -- masing peserta didik, ada yang cepat menyelesaikan persoalan, ada pula yang memerlukan waktu lebih banyak, hal ini sejalan dengan equity dalam pendidikan
  • memahami kebutuhan khusus setiap peserta didik, dimana ada peserta didik yang cenderung lebih menyukai pembelajaran yang bersifat visual, ada juga yang lebih menyukai audio, semua kebutuhan khusus masing-masing peserta didik hendaknya dapat terpenuhi
  • selalu senang berbagi ilmu dengan peserta didik maupun rekan sejawat, bukannya memendam semua ilmu yang dimilikinya sendiri

Pendidik yang lascarya kelak akan mampu menjadi inisiator tanpa menunggu kebijakan pemerintah. Ia menjadi penggerak bagi peserta didik untuk meraih cita-cita, berpikir global dengan tetap membumi. Mari melangkah bersama dengan keikhlasan untuk menghadapi tantangan era 4.0. Kita bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun