Mohon tunggu...
Dewi RA
Dewi RA Mohon Tunggu... -

Let me sing your mind out more elegant | student of Uswim, Papua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada yang Lebih "Ahok" dari Ahok? Ada yang Lebih "Telolet" dari Telolet?

26 Desember 2016   14:03 Diperbarui: 26 Desember 2016   14:16 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ente tenang aja, ane bukan pribadi yang mudah teralihkan, jelas disini ane nggak berminat untuk ngebahas 'om telolet om'… wakakak ane cuma seneng lihat orang-orang mabuk telolet, seneng dan heran tepatnya. Jelas heranlah om… di kuping ane kok nggak ada yang 'greget' dari bunyi klakson telolet itu...wakakak. Di kuping ente, kok 'greget' banget ya ? Lha trus senengnya kenape ? Ane seneng melihat ente semua seneng. Hidup telolet !

Telolet ini bila dimaknai lebih mendalam, mengingatkan kita yang lama lupa bagaimana caranya jatuh cinta…. Faktanya bahagia itu sederhana saja kan, cinta yang dewasa, pas, tidak banyak meminta. Romantis juga gue… wakakak. Boleh nih... kapan-kapan nulis tema cinta. 

Kembali ke laptop.

Massa yang jumlahnya besar bisa dimanfaatkan untuk apapun selama tujuan tersebut dibungkus dengan kepentingan agama, misalnya ada aturan yang tidak disukai oleh mereka, mereka tinggal keluarkan fatwa bahwa aturan tersebut sesat dan tidak ada anjurannya dalam agama, maka seketika ummat akan bisa digiring dari berbagai penjuru -baik yang mengerti atau cuma ikut-ikutan. Dalam kesempatan ini “kekuatan” itu digunakan untuk menyerang tokoh yang tidak mereka kehendaki, bungkus dengan nama agama, kumpulkan massa, paksakan agenda, inilah yang disebut mobokrasi. Hal inilah yang disadari oleh para aktor-aktor intelektual maupun aktor-aktor lapangan. MOBOKRASI.

Mobokrasi secara harfiah artinya adalah “kekuasaan ditangan kerumunan”, siapa yang bisa berkerumun lebih banyak maka dia yang memegang kekuasaan, mobokrasi berbeda dengan demokrasi karena mobokrasi menihilkan peran kelompok minoritas dan silent majority. Berbeda dengan demokrasi yang memperhitungkan suara semua orang, mobokrasi bisa saja dikuasai oleh kelompok yang jumlahnya sedikit tetapi terorganisir dengan baik.

Mobokrasi adalah sesuatu yang sangat saaaaaangat buruk karena akan menimbulkan premanisme dan pemaksaan kehendak. Semua yang tidak disukai bisa dilibas habis hanya karena mereka beramai-ramai.

Paham to koe ? Ini adalah ilmu konspirasi tingkat dasar.

Untuk menghindari hal seperti inilah negara diperlukan untuk ada, jika negara tidak ada, maka akan timbul anarki dimana yang paling banyak dan terorganisir akan menindas.

Kenapa mobokrasi ini harus dilawan? Bukankah kepentingan yang “banyak” harus selalu diutamakan? Jawabannya TIDAK. Contohnya begini, misalnya ada 20 orang yang ingin anda segera dihukum penjara karena MENURUT MEREKA anda telah menghina mereka padahal pengadilan belum memutuskan apa-apa, apakah polisi akan memihak mereka karena mereka banyakan? Atau berpihak pada kebenaran? Jadi faham yah, BANYAK BELUM TENTU BENAR.

Masih nggak faham ? Waaaah… ente ndak telolet. Ketika anda tidak faham ilmu konspirasi tingkat dasar ini, berarti anda tak faham jika selama ini anda telah jadi korban mobokrasi. Wkakakakak. Kadang tidak tahu itu memang bagus. Kadang.

Analogi sederhananya seperti ini, 2 tambah 2 berapa ? Lho… malah maen-maen. Bukan… saya tekankan saya tidak sedang maen-maen. Anda jawab saja… o ya dilarang nyontek. Yang jawab 4 angkat tangan dong… yang jawab 5 angkat kaki dong. Oke. Yang jawab 4 ada 2 orang. Yang jawab 5 ada 30 orang. 

Jawaban yang benar adalah 4. Dan saya yakin anda tahu 2+2 itu 4. Maaf itu teori. REALITA TIDAK BERBICARA SEPERTI ITU ! Anda yang cuma 2 orang… kalian salah. Yang benar adalah 2+2=5. Sableng koe ! Lho… ra usah protes bos…  seperti itulah realitas berbicara. 

Pernah anda sadari hal itu ?? Hal inilah saya pikir, yang menyebabkan Koh Ahok menangis ketika di pengadilan kemarin. Saat kita tahu kebenaran itu disalahkan, saat kita tahu yang salah menjadi pembenaran… saat itulah airmata keadilan mengalir. 

Bila menjadi orang baik dan benar begitu sulitnya,tak heranlah mengapa diantara kita banyak yang bahkan secara sadar memilih menjadi antagonis. Hidup ini dinamis. Ia tak seperti OS Android yang begitu-begitu aja. Hari ini mungkin kita mukmin, besok siapa yang jamin kita masih mukmin. Bahkan, sudah mati pun, potensi dikafirkan masih tetap ada. Inilah yang namanya hidup. Grafiknya kadang naik, kadang turun. Lama naiknya, sekali turun, benar-benar terjun bebas.

Kalau hidup manusia selalu dipenuhi dengan kebaikan, akan ada dua pihak yang bakal dirugikan. Pertama, adalah malaikat Atid sebagai pencatat amal buruk manusia. Ia bakal nganggur jika seluruh manusia menjadi baik kayak Pakde Jokowi. Kedua, adalah syaitan. Sebab, takdir diciptakannya syaitan adalah untuk menggoda manusia untuk mencicipi jalan-jalan keburukan. Syaitanlah yang menciptakan rasa nikmat dan ketagihan dari amal buruk manusia.

Jadi. Jangan terlalu kesal saat Bang Jonru ber-antagonis ria terhadap Pakde Jokowi di Hari Ibu kemarin. Sambil bawa-bawa “Om Telolet Om”. Itukan memang branding Bang Jonru sebagai figur antagonis. Sebab, sebagai antagonis, penggemarnya tak sedikit. Satu juta lebih orang mengikuti Halamannya Bang Jonru. Ke-istiqomah-an sebagai yang antagonis terhadap pemerintah membuahkan hasil. Gimana tak berhasil, masih banyak kok netizen yang belum bisa move on dari Pilpres 2014. Suara mereka harus terus diakomodir. Dan Bang Jonru pandai sekali melihat peluang ini.

Bang Jonru ini penyeimbang kehidupan. Eksistensinya menggenapi sebuah diktum dalam Quran. Dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasangan. Ada yang mencinta, ada juga yang membenci. Itu sebuah keniscayaan yang sudah tergariskan jauh sebelum ditemukannya konsep “gagal move on”.

Kebencian itu harus terus ada. Sebab, nikmatnya mencinta baru benar-benar terasa, saat rasa benci juga hadir. Jadi. Seperti halnya orang baik, akan datang orang-orang baik lainnya. Begitu juga orang titik-titik tadi. Akan datang yang titik-titik juga.

Allah Swt berfirman kepada malaikat, “Aku memberi pahala kepada hambaku sesuai kadar akalnya.”  Di sinilah pentingnya akal. Bukan soal bagaimana mengakal-akali ritual-ritual atau ajaran-ajaran agama, tetapi bagaimana akal dijadikan cahaya untuk mengetahui dan memahami ritual atau ajaran-ajaran agama dengan benar.

Ibadah tak bisa menutupi fakta bahwa akal sangat terbatas. Malaikat menyangka bahwa setiap ahli ibadah pasti pahalanya banyak, ternyata tidak. Itu disebabkan karena kemampuan akalnya yang terbatas.

Dengan demikian, seseorang yang dapat berpikir dengan jernih dan dalam, akan sampai pada pengetahuan dan pemahaman dengan baik dan benar. Pada konteks inilah maksud sebenarnya dari ucapan Imam Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa agama adalah akal. Tentu saja, akal sehat. Bukan akal yang sakit-sakitan.

Hari ini, yang justru tampak banyak di depan mata adalah orang-orang yang akalnya sakit-sakitan. Mereka sangka bahwa mereka bela agama. Mereka teriakkan ibadah, ibadah, ibadah… sekaligus bunuh bunuh... mereka main sikat sana-sini atas nama bela Tuhan. Padahal, akalnya sakit-sakitan. Mereka tampakkan simbol-simbol agama begitu rupa, membuat citra seakan-akan tak ada yang lebih bertuhan daripada ketuhanan mereka.

Akal yang sakit-sakitan. Sejalan pula dengan akal yang jongkok. Melihat perbedaan, sedikit-sedikit marah. Berteriak-teriak, menolak-nolak. Persis seperti seorang udik yang belum pernah datang ke Jakarta dan melihat monas. Ketika melihat monas, dia marah, dia tak terima, dia berteriak bahwa monas itu tak ada. Kenapa tak ada? Sebab di udiknya sana tak ada sesuatu seperti monas! Orang menjadi pesakitan hingga menolak sesuatu—disertai dengan emosi—bukan karena sesuatu itu tidak ada, tetapi karena sesuatu itu belum pernah dijangkakan oleh akalnya.

Maka, jika si ahli ibadah yang akalnya sakit-sakitan itu, di sisi Tuhan, hanya memiliki pahala yang sedikit, di sisi kita yang masih punya kewarasan ia justru akan mendatangkan banyak malapetaka. Merusak, menghina, melecehkan, merendahkan, mencaci-maki, membabi-buta mengatasnamakan agama, padahal di mata Tuhan esensi manusia itu sama. Berhati-hatilah, siapa tahu “si ahli ibadah” itu adalah tetangga anda sendiri!

Di Indonesia menyebar berita hoax itu dihitung dakwah… lihat saja situs abal-abal yang merongrong pemerintahan. Boro-boro menulis sesuatu yang mengedukasi masyarakat, ini malah memprovokasi. Bagi pembenci Ahok, setelah positif terjangkit, penderita akan segera bernafsu menjelajahi sosmed seperti fb, blog dan media lainnya, hanya untuk mencari tag Ahok. Setelah nemu, mereka seketika akan kejang-kejang, lalu mulai mencaci maki Ahok atau orang-orang yang kelihatannya mendukung Ahok, padahal tidak ada juga yang mengundang si penderita ke lapak tersebut!

Ahok memang fenomena. Populer. Kepopulerannya melebihi jamaah 212 jika digabung. Coba ketikkan di mesin pencarian Google…. Jakarta bersih karena Foke. Maka, mbah Google akan merespon, apakah yang anda maksud Jakarta bersih karena ahok ? Hahahah. Tobat, tobat. Belum lagi denger-denger Ahok menjadi salah satu kandidat penerima hadiah Nobel. Haters Ahok bisa-bisa langsung step. Wakakak.

Tanyakan pada diri kalian masing-masing, kenapa kalau urusan mendemo Ahok, mendemo Jokowi ummat mau berkumpul seperti itu, sedangkan untuk hal hal yang baik belum tentu dan saya rasa tidak akan pernah terjadi. Apa tidak malu membawa label pembela Islam, pembela Qur’an sedangkan tentang rohingya saja tidak bisa menunjukkan solidaritas sebanyak aksi kemarin? Apa tidak malu membawa label pembela Islam, pembela Qur’an tapi tidak pernah berdemo sebanyak itu untuk minta tempat maksiat ditutup? Apa tidak malu membawa label pembela Islam, pembela Qur’an tetapi menghabiskan uang 100 milyar per demo padahal banyak muslim-muslim yang kelaparan dan membutuhkan sedekah?

Saya membaca dimajalah tempo bahwa banyak agenda presiden Jokowi yang penting bagi negara ini menjadi tertunda karena beliau harus fokus mempertahankan keutuhan NKRI akibat rong-rongan dari “mob” kalian, kerumunan kalian. Apalagi sekarang sudah mulai banyak lagi provokasi baru,mulai dari broadcast2 tentang aksi lempar jumroh untuk menggulingkan pemerintah ditambah ucapan habib rizieq tentang revolusi, kalian mau bikin Indonesia menjadi seperti Suriah? Apa sih yang membuat kalian sangat terobsesi mengguling-gulingkan pemerintah yang sah?

Karena jika negara stabil maka ummat pula yang akan merasakan manfaatnya, bahkan negara yang damai dibawah rezim brutal seperti Korea Utara jauh lebih baik dibandingkan seperti Suriah sekarang yang rakyat dan pemerintahnya saling bantai.

Oke, kini bicara solusi, kerumunan tidak boleh dilawan dengan kerumunan, oleh karena itu sebenarnya saya kurang setuju dengan aksi 412 karena waktu yang begitu berdekatan pasti akan dibanding-bandingkan dengan aksi 212. Cara satu-satunya adalah negara harus tegas melakukan apa yang perlu dilakukan, elit-elit politik negara ini harus bisa menyelesaikan lewat dialog dengan para petinggi GNPF-MUI, cukup sudah waktu, tenaga, uang dan rasa aman terbuang untuk kegiatan yang (mengutip wakil ketua MUI pusat) lebih banyak mudharatnya. Maaf presiden Jokowi, waktumu yang seharusnya anda gunakan untuk membangun negri jadi terbuang untuk keadaan ini.

Kedua provokator harus ditindak sesuai hukum, tidak usah takut, negara harus tegas, hukum sesuai undang-undang yang berlaku, ini yang terpenting, jangan ragu untuk tangkap dan tindak.

Ketiga, jika mau ada aksi lanjutan berupa demonstrasi damai, silakan kepolisian izinkan, tetapi TINDAK TEGAS siapapun yang melakukan anarkisme.

Keempat, YUK BERAKTIFITAS SEPERTI BIASA, pakde kerja aja sebagaimana biasa, yang lain juga kerja saja sebagaimana biasa, demo hal yang biasa kok, memang apa bedanya kalau banyak?  Ga maju-maju negara ini kalo ribut melulu. Liatin aja sampe berapa lama sih tahan begini-begini terus.

Kelima, TNI Polri, jika ada indikasi rencana penggulingan pemerintah, kami percaya kalian tahu apa yang harus dilakukan, kami percaya kalian akan menjaga orang-orang yang telah kami beri amanah memimpin negri ini. Pak Tito… jagain ya pak.

Ya, jika Jokowi jatuh karena hal ini, Amerika, Australia dan kawan-kawannya yang akan tertawa. Jika Indonesia rusuh karena ini, negara-negara asing yang akan bergembira. Ngakak guling-guling ngglinding-ngglinding. Bisa jadi broadcast yang anda terima hari ini dan kemarin juga adalah bentukan intelijen asing.

Yuk sikapi dengan elegan, para ahli hukum, medan beramalmu telah pindah ke meja hijau, kawal kasusnya.

Dear Nyinyiers… monggo nyinyir di kolom bawah. Om….telolet om...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun