Mereka yang mengalami depresi dan distimia akan cenderung melihat segala sesuatu hitam putih, menganggap segala sesuatu adalah kesalahannya, dan kerap membayangkan masa depan dengan sisi negatif. Ia juga bisa mengalami ambivalensi yakni pikiran yang kontradiktif, misalnya pada saat bersamaan ia ingin mengakhiri hidup, namun juga ingin tetap hidup.
Juga ada bagian yang membahas pendapat psikiater yang menangani si penulis. Bagaimana ia merasa menyesal karena merasa kurang banyak memberikan bantuan dan mungkin membuat kesalahan. Ia awalnya terkejut, malu, dan cemas ketika mengetahui rekaman pada saat proses terapi dijadikan sebuah buku. Namun pengalaman  langsung yang ditulis dalam buku ini  bisa jadi memberikan banyak informasi dan bantuan ke mereka yang juga sedang dalam masa depresi dan ingin bangkit
Buku yang Cocok Bagi Mereka yang Ingin Lebih Memahami Kesehatan Mental
Kadang-kadang saya membeli dan menyewa buku karena tertarik dengan judulnya, tanpa membaca sinopsisnya. Kali ini saya salah memilih buku, tapi tak apa-apa karena bukunya juga lumayan menarik.
Oleh karena saya menyukai buku dengan tema kuliner, ketika membaca judulnya saya mengira buku ini tentang tokoh yang hobi jajan, terutama tteokpokki alias jajan Korea yang berupa kue tepung beras dengan pasta yang pedas dan manis. Eh ternyata bukunya merupakan buku nonfiksi yang membahas tentang sesi terapi yang dilakukan oleh penderita depresi, yang di sini adalah si penulis itu sendiri.
Saya meminjam buku ini di komunitas Perpustakaan Berjalan. Model peminjaman mirip dengan perpustakaan pada umumnya, ada proses meminjam buku, menunggu buku datang dari Minpus (Perpustakaan Berjalan), proses membaca, dan kemudian mengembalikannya. Alhasil satu buku bisa dibaca banyak orang dari berbagai kota.
Buku ini masuk bestseller di Korea Selatan. Sejak dicetak kali pertama tahun 2019, sampai Juni 2022 telah mengalami cetak ulang hingga ke-25.
Dalam buku ini si penulis ingin memahami dirinya sendiri. Ia yakin ada orang lain yang sama seperti dirinya. Dari luar kelihatannya baik-baik saja, tapi memiliki luka dan memiliki perasaan bersalah dan tidak baik-baik saja.
Buku ini terasa begitu personal dan memiliki nyawa karena si penulisnya menyampaikan isi percakapan saat ia melakukan sesi terapi yang dialaminya sendiri. Ketika membaca bagian ini, pembaca akan seperti sedang berada di kursi si penulis dan ikut mendengarkan solusi yang disampaikan si psikiater.
Dialognya riil, tentang apa yang dialami si tokoh yang mengalami depresi, apa saja keluhannya saat menjalani sesi terapi tiap minggunya, juga solusi yang diberikan oleh psikiater. Ada beberapa istilah di sini yang menambah pengetahuan, seperti distimia, mitomania, akathisia (gejala gelisah karena efek samping obat penenang), dan sudut pandang mereka yang sedang depresi dalam melihat dunia dan keseharian.
Saya membaca buku ini lumayan lama karena bukunya memiliki nuansa yang agak suram dan saya kuatir larut dalam suasana depresif. Saat membaca buku ini saya merasa mood saya berubah dan ada beberapa bagian yang membuat saya ter-trigger kondisi yang pernah saya alami. Ada perasaan tidak nyaman dan mual ketika membaca bagian yang mirip dengan situasi yang pernah saya alami.