Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Caught by the Tides, Drama Eksperimental yang Melankolis

28 Oktober 2024   21:40 Diperbarui: 31 Oktober 2024   12:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ia naik kapal sendirian dan terus melangkah mencari kekasihnya. (sumber gambar: Momo Pictures via Variety) 

Seorang perempuan nampak gelisah. Ia melakukan perjalanan dengan kapal mencari kekasihnya yang tak kunjung memberinya kabar. Ia menjelajah sudut-sudut negeri Tiongkok, hingga hampir dikejar sekelompok preman. 

Suatu hal kemudian membuatnya berhenti dan membawanya pulang. Kisah cinta yang pahit yang dibalut ala film perjalanan historis ini disajikan dalam film produksi Tiongkok berjudul Caught by the Tides. Film ini jadi salah satu unggulan di ajang Cannes 2024.

Qiao Qiao (Zhao Tao) nama perempuan tersebut. Ia seorang model dan penari. Suatu ketika kekasihnya, Guao Bin (Li Zhu Bin) memutuskan merantau ke luar kota. Namun ia tak kunjung kembali. Qiao mencarinya, bertolak dari Datong melewati kota demi kota hingga ke wilayah yang berubah setelah pembangunan Bendungan Tiga Ngarai rampung.

Sebuah Kisah Perjalanan dengan Unsur Historis
Oleh karena sama-sama tayang di Festival Film Cannes dan Jakarta World Cinema 2024, maka rasanya sulit menampik keinginan untuk membandingkan film Caught by the Tides dengan film produksi Portugal berjudul Grand Tour.

Ia naik kapal sendirian dan terus melangkah mencari kekasihnya. (sumber gambar: Momo Pictures via Variety) 
Ia naik kapal sendirian dan terus melangkah mencari kekasihnya. (sumber gambar: Momo Pictures via Variety) 
Kedua film ini sama-sama mengemas kisah cinta dalam bentuk film perjalanan. Tokoh utamanya juga yang sama-sama seorang perempuan, yang mengejar pria yang dikasihinya. Kedua film juga dirupakan begitu minim dialog.

Bedanya tentu ceritanya berbeda. Daerah-daerah yang ditampilkan dalam film juga berbeda, meski ada satu yang sama. Grand Tour menceritakan Edward yang dikejar kekasihnya, Molly. Ia naik kapal ke Singapura, lalu menuju Thailand, Vietnam, Filipina, dan kemudian ke Jepang dan China. Nah di China ada satu tempat yaitu Chongqing, yang muncul di kedua film ini. 

Dalam Grand Tour, Molly naik kapal kadang kereta demi menyusul kekasihnya (sumber gambar: The Guardian) 
Dalam Grand Tour, Molly naik kapal kadang kereta demi menyusul kekasihnya (sumber gambar: The Guardian) 
Kedua film perjalanan dengan unsur romansa ini sama-sama bagus. Tim produksi dan artistiknya berhasil menampilkan detail sebuah daerah sesuai dengan latar tahun. Grand Tour berlatar tahun 1918 sedangkan Caught by the Tides memiliki latar tentang waktu yang panjang yakni tahun 2001-2023.

Caught by the Tides bak drama eksperimental yang unik. Tak banyak dialog, namun penonton bisa menerka apa yang terjadi lewat mimik, gerakan, serta nuansa dan tone film dari musik latarnya.

Poster film Caught by the Tides (sumber gambar: Momo Picturs via IMDB) 
Poster film Caught by the Tides (sumber gambar: Momo Picturs via IMDB) 

Di awal penonton mungkin bingung siapa sebenarnya Qiao Qiao karena ia muncul di berbagai tempat dengan potongan rambut yang unik. Ibarat kepingan puzzle, akhirnya penonton bisa menebak profesi Qiao Qiao dan hubungannya dengan Guao Bin.

Dalam film ini Qiao Qiao memang lebih dominan. Kemunculannya jauh lebih sering dari Guao Bin. Qiao Qiao nampak luwes sebagai perantauan dan pencari orang hilang. Ia bisa masuk dari satu kelompok masyarakat ke kelompok lain dengan santai dan tenang, sehingga ia bisa bertahan hidup dengan uang saku terbatas dalam periode waktu pencarian yang cukup panjang.

Tiongkok di sini ditampilkan dalam berbagai era. Di film ini juga bisa dilihat proyek pembangunan Bendungan Tiga Ngarai, bendungan terbesar di dunia, dan imbasnya ke perkampungan yang tergusur.

Hal yang unik dan patut diapresiasi dari film yang naskahnya ditulis Jia Zhangke bersama Wan Jianhuan ini adalah gambar-gambar dari film ini sebagian menggunakan koleksi rekaman Zhangke selama 22 tahun. Alhasil film yang disebut oleh Zhangke ini seperti kombinasi film fiksi dan dokumenter.

Dengan pengambilan gambar dan pengeditan yang tak biasa, visual yang dihasilkan jadi tidak begitu linear. Warna-warna yang digunakan kebanyakan warna pastel dan musiknya bernuansa sendu sehingga nuansa di berbagai adegan terasa seperti mimpi.

Film ini juga menampilkan China modern dengan robot yang membantu pengunjung berbelanja (sumber gambar: Hollywood Reporter) 
Film ini juga menampilkan China modern dengan robot yang membantu pengunjung berbelanja (sumber gambar: Hollywood Reporter) 

Film ini meraih nominasi Palem d'Or di ajang Cannes. Film ini juga tayang di Festival Film Internasional di Toronto dan Busan 2024. Meski banyak meraih prestasi, film ini tidak menjadi wakil Tiongkok di ajang Oscar 2025, melainkan The Sinking of the Lisbon Maru, yang merupakan film dokumenter.

Caught by the Tides merupakan drama eksperimental yang unik dan melankolis. Pengambilan gambarnya variatif dan dialognya minim. Dengan musik yang sendu dan warna-warni yang lembut, penonton sesekali seperti diajak bermimpi menjelajahi China di berbagai era.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun