Dalam film ini Qiao Qiao memang lebih dominan. Kemunculannya jauh lebih sering dari Guao Bin. Qiao Qiao nampak luwes sebagai perantauan dan pencari orang hilang. Ia bisa masuk dari satu kelompok masyarakat ke kelompok lain dengan santai dan tenang, sehingga ia bisa bertahan hidup dengan uang saku terbatas dalam periode waktu pencarian yang cukup panjang.
Tiongkok di sini ditampilkan dalam berbagai era. Di film ini juga bisa dilihat proyek pembangunan Bendungan Tiga Ngarai, bendungan terbesar di dunia, dan imbasnya ke perkampungan yang tergusur.
Hal yang unik dan patut diapresiasi dari film yang naskahnya ditulis Jia Zhangke bersama Wan Jianhuan ini adalah gambar-gambar dari film ini sebagian menggunakan koleksi rekaman Zhangke selama 22 tahun. Alhasil film yang disebut oleh Zhangke ini seperti kombinasi film fiksi dan dokumenter.
Dengan pengambilan gambar dan pengeditan yang tak biasa, visual yang dihasilkan jadi tidak begitu linear. Warna-warna yang digunakan kebanyakan warna pastel dan musiknya bernuansa sendu sehingga nuansa di berbagai adegan terasa seperti mimpi.
Film ini meraih nominasi Palem d'Or di ajang Cannes. Film ini juga tayang di Festival Film Internasional di Toronto dan Busan 2024. Meski banyak meraih prestasi, film ini tidak menjadi wakil Tiongkok di ajang Oscar 2025, melainkan The Sinking of the Lisbon Maru, yang merupakan film dokumenter.
Caught by the Tides merupakan drama eksperimental yang unik dan melankolis. Pengambilan gambarnya variatif dan dialognya minim. Dengan musik yang sendu dan warna-warni yang lembut, penonton sesekali seperti diajak bermimpi menjelajahi China di berbagai era.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H