Berbicara tentang Senegal, yang terbayang di benak kalangan awam adalah balapan mobil yang terkenal, Paris - Dakar Rally atau The Dakar, yang dihelat tahunan sejak tahun 1979. Lantas bagaimana dengan industri film Senegal? Yuk kita bahas sekelumit industri film Senegal dan salah satu film Senegal yang tayang di Festival Film 100 Persen Manusia, yakni film berjudul Xal.Â
Industri film Senegal bermula pada pertengahan tahun 1950-an. Masa keemasan berlangsung pada tahun 1970-an, namun kemudian produksi film merosot tajam pada tahun 1980-an. Baru pada tahun 2000-an, industri film mulai bangkit dan kebanyakan bekerja sama dengan rumah produksi dari Eropa.Â
Dibandingkan dengan negara lainnya di Afrika, industri film Senegal termasuk tertinggal. Apalagi jika dibandingkan industri film Nigeria yang punya julukan Nollywood. Negara lainnya di Afrika yang punya industri film besar selain Nigeria adalah Republik Afrika Selatan.Â
Nah menariknya di Festival Film 100 Persen Manusia ini juga diputar film-film dari Afrika, terutama Senegal. Film-film tersebut adalah Banel & Adama dan Xal.Â
Tentang Apakah Xal?
Film Xal bercerita tentang perjuangan dan mimpi dua saudara kembar lawan jenis berusia 15 tahun, Awa (Nguissaly Barry) dan Adama (Mabeye Diol). Keduanya memiliki mimpi yang berlainan. Awa begitu cerdas dan berambisi di akademik. Sedangkan saudara laki-lakinya, Adama ingin menumpang kapal menuju Prancis.Â
Keduanya giat memperjuangkan mimpi. Hingga kemudian kematian sang nenek memberikan dampak besar ke kehidupan mereka. Apalagi Atoumane (Ibrahima M'Baye) suka ikut campur dengan urusan mereka.Â
Sebuah Film yang Kental Nilai Tradisi dan Isu Sosial
Saya menyaksikan film Xal di Festival Film 100% Manusia di Kineforum Asrul Sani, Jumat (7/9). Mungkin karena judul filmnya tidak populer dan temanya juga nonkomersial, atau juga karena waktu penayangannya masih sore, yaitu pukul 17.00-18.45, maka peminat film ini relatif minim. Saat itu saya menonton film ini benar-benar sendirian, seperti menonton privat di studio pribadi hehehe.Â
Film Xal ini mengingatkan pada film berjudul Women from Rote Island, dari segi isu dan pernak-pernik filmnya. Seperti Women from Rote Island, film ini juga memiliki isu utama tentang perjuangan kaum wanita dari kultur yang membelenggu dan kekerasan dari pihak laki-laki.Â
Xal sendiri adalah film ketiga dari Moussa Sene Absa yang sama-sama membidik isu perempuan. Filmnya sebelumnya adalah  Tableu Ferraile (1995) dan L'Extraordinaire destin de Madame Brouette (2002). Khusus untuk Xal, Moussa Sene Absa menulisnya bersama Pierre Magny dan Ben Diogaye Beye.Â
Mirip dengan Women from Rote Island, cerita berawal dari kematian salah satu orang penting di sebuah keluarga. Jika di Women from Rote Island, yang meninggal adalah kepala keluarga, maka di Xal adalah seorang nenek. Ritual kematian dapat disaksikan dalam film ini dengan kostum dan tradisinya yang unik.Â
Spoiler Alert!Â
Menurut nasihat neneknya, Fatou harus menikah (Rokhaya Niang) dengan sepupu jauhnya, Atoumane. Pernikahan ini menyiksa Fatou yang tak pernah mencintai suaminya. Ia sering menerima tamparan dan pukulan dari suaminya yang temperamental. Hingga suatu ketika Atoumane melampiaskannya ke keponakannya yang berujung fatal.Â
Di film ini, sama seperti dalam film Women from Rote Island, perempuan menjadi pihak yang lemah. Hukum adat meski keras, namun belum banyak berpihak ke sisi perempuan. Si paman yang melakukan KDRT ke istri dan memerkosa keponakannya hanya dihukum dikucilkan dan tidak boleh masuk ke lingkungan mereka selama 10 tahun. Setelah itu ia bebas berbuat apa saja. Sungguh tidak adil. Keadilan inilah yang kemudian diperjuangkan oleh Awa.Â
Selain isu tentang KDRT dan keadilan yang belum banyak berpihak ke perempuan, dalam film ini bisa dilihat kondisi masyarakat Dakar yang tinggal di pesisir pantai. Mereka miskin secara struktural. Reli akbar dan pembangunan seperti tak berdampak ke mereka. Lingkungan rumah mereka nampak kumuh dan mereka makan apa saja yang tersedia.Â
Tak heran jika kemudian muda-mudinya berniat untuk meninggalkan daerah tersebut. Mereka nekat naik kapal tradisional dan menjadi imigran ilegal di Eropa. Selama berhari-hari mereka terombang-ambing di kapal yang sempit bersama puluhan orang dengan risiko kapal mereka tenggelam.Â
Xal sarat dengan isu sosial ekonomi dan perempuan yang ditampilkan lewat visual yang memikat. Kostum tradisional yang berwarna-warni nampak kontras dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang suram.Â
Setiap terjadi tragedi atau peristiwa ada sesi menari atau menyanyi dengan seorang narator yang bercerita langsung ke para penonton atau yang dikenal dengan istilah mendobrak tembok keempat. Penggunaan narator ini membuat film ini terasa unik dan penonton jadi lebih dekat dengan isu yang diangkat.Â
Film Xal sendiri sarat akan prestasi. Film yang dirilis tahun 2022 ini tayang di Adelaide Film Festival dan Mill Valley Film Festival. Film ini menjadi pemenang film terbaik dan berbagai kategori lainnya di African Movie Academy Awards 2023 juga menjadi perwakilan Senegal di ajang Oscar pada tahun 2023.
Xal mengangkat isu tentang kondisi sosial ekonomi dan perjuangan perempuan Senegal dengan visual yang berwarna-warni. Penggunaan narator di film ini membuat isu lebih mudah dipahami. Skor: 70/100.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H