Jumat siang tanggal 26 Juli, terlihat beberapa Kompasianer mulai memasuki aula lantai 4 Pusat Dokumen Sastra HB Jassin, yang terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki. Meja-meja tengah disusun sehingga berbentuk memanjang seperti konsep acaranya Diskusi Meja Panjang. Di antara peserta, nampak seorang perempuan mengenakan jubah hitam dan lensa kontak merah. Pas dengan tema diskusi hari tersebut yang berjudul Sastra Horor.Â
Ada dua pembicara, satu pembanding, dan satu moderator yang mengisi forum kedelapan tahun kedua Dapur Sastra Jakarta. Pembicara utamanya adalah kompasianer Yon Bayu Wahyono, didampingi Ni Made Sri Andani. Pembandingnya adalah Sunu Wasono. Sedangkan moderatornya adalah Nanang R. Supriyatin. Setelah dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan penyerahan makalah ke tuan rumah, diskusi pun dimulai. Diharapkan dari diskusi ini lahir gagasan dan isu sastra yang berkembang.Â
Omong-omong aku tertarik mengikuti avara diskusi sstra horor ini karena aku salah satu pencinta cerita horor, baik buku maupun film. Aku mulai mengenal cerita horor lewat bacaan Alaming Lelembut yang muncul di majalah Panjebar Semangat. Dulu  ayah langganan majalah berbahasa Jawa tersebut.Â
Ada berbagai novel horor yang kusukai dan kubaca saat remaja. Novel-novel horor mancanegara tersebut adalah Misery karya Stephen King, Black Cat dan kumpulan cerita horor karya Edgar Allan Poe, Dracula dari Bram Stoker, dan Frankenstein karya Mary Shelley.Â
Sementara untuk pengarang cerita horor dalam negeri akan lekat dengan sosok Abdullah Harahap. Bisa jadi ia patut dianugerahi sebagai bapak cerita horor Indonesia karena ia dulu begitu produktif menulis cerita horor, yang sebagian juga sukses difilmkan. Bahkan ada kumpulan cerpen berjudul Budak Setan karya Eka Kurniawan dkk yang merupakan tribut untuk Abdullah Harahap. Karya fiksi horor dalam negeri lainnya yang pernah kubaca di antaranya Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha dan Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara.Â
Sejak era forum dan penetrasi internet yang makin cepat, cerita horor pun makin mudah dijumpai di ranah maya. Awalnya cerita horor bermunculan di Kaskus, kemudian berpindah ke platform X. Sejak pandemi makin banyak utas horor, apalagi sejak viralnya cerita KKN di Desa Penari. Hingga kini utas horor masih berseliweran di jagat X. Tak sedikit dari utas tersebut yang sukses dilayarlebarkan.Â
Melihat begitu banyaknya cerita fiksi horor, baik dalam format cetak maupun digital, ada pertanyaan yang muncul. Apakah utas horor di X bisa masuk ke dalam sastra horor? Apa sebenarnya definisi sastra horor? Apakah semua cerita horor termasuk di dalamnya?Â
Nah, membuka sesi diskusi meja panjang ini Yon Bayu yang meraih Kompasianer of the Year 2023 menjelaskan definisi sastra horor. Ia mengawalinya dengan mengutip definisi horor, ngeri, dan takut dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Horor diartikan sebagai "sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat". Sedangkan ngeri adalah "berasa takut atau khawatir karena melihat sesuatu yang menakutkan atau mengalami keadaan yang membahayakan". Sementara takut berarti "merasa gentar atau ngeri dalam menghadapi sesuatu yang dianggap atau mendatangkan bencana".Â
Menurut Yon Bayu, kadar perasaan takut dan ngeri setiap orang berbeda-beda. Ada yang menganggap kamar gelap atau tempat sepi itu menakutkan, tapi lainnya bisa jadi menganggapnya biasa saja atau malah menenangkan.Â
Sementara sastra menurut KBBI adalah "bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari". Ada juga pendapat lainnya tentang sastra menurut Yon Bayu, yaitu merupakan ungkapan ekspresi manusia bisa karya tulis maupun lisan yang didasari pemikiran, pendapat, pengalaman, dan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk imajinatif atau data asli yang dibalut dengan kemasan estetis melalui media bahasa.Â
Horor sendiri berdasarkan pemikiran Yon Bayu adalah kepercayaan, pemahaman, atau aktivitas yang melibatkan unsur atau makhluk gaib, serta bersifat mistis atau misteri. Ia beranggapan budaya masyarakat Jawa semuanya bersinggungan dengan misteri dan horor. Sehingga, horor di Jawa bisa disebut budaya.Â
Oleh karena itu Yon Bayu mendefinisikan Sastra horor sebagai "karya tulis maupun lisan yang menceritakan budaya atau cerminan budaya dari suatu masyarakat, yang mengandung kepercayaan, pemahaman, dan aktivitas yang melibatkan unsur gaib, bersifat mistis atau misteri. Ia mencontohkan Calon Arang sebagai karya sastra horor yang memiliki cerita memikat.Â
Dalam uraiannya, Yon Bayu merasa resah karena sastra horor kerap dianggap murahan dan terkesan mendukung pembodohan. Ia resah dengan banyaknya cerita horor yang mengeksploitasi sensualitas perempuan atau yang hanya mengeksploitasi keseraman itu sendiri agar pembaca ketakutan. Ia berharap muncul karya sastra horor yang berkualitas sehingga melawan anggapan sastra horor yang dianggap murahan.Â
Di satu sisi ia menganggap cerita horor adalah bagian dari budaya bangsa yang harus diterima sebagai bagian kekayaan bangsa. Ia juga berharap cerita horor juga harus dijaga agar tidak menjadi sarana pembodohan masyarakat.Â
Sementara itu pembicara kedua, Ni Made Sri Andani, mengambil perspektif unik untuk membahas sastra horor. Ia menyebutkan daftar manfaat dari cerita horor dari pengalamannya. Â Sebelumnya ia mengaku sebagai orang yang logis dan tidak suka dengan hal-hal yang tidak masuk akal.Â
Berbagai manfaat yang diraihnya saat mengalami perasaan takut atau horor yaitu meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan. Dalam cerita Ghost yang ditulisnya berdasarkan pengalamannya, ia memutuskan untuk memeriksa kamar mandi karena terus mendengar bunyi kecipak air. Eh ternyata ada cecak yang bernasib malang di sana.Â
Manfaat lainnya adalah mengajarkan pemikiran kritis dan logis. Ia mencontohkan kisah perkutut yang membuat pemiliknya bangkrut. Benarkah karena perkutut atau sebenarnya ada hal-hal lainnya?Â
Manfaat berikutnya dari membaca cerita horor adalah membangun keberanian dan ketahanan mental. Ni Made meyakini bahwa ketakutan dapat diatasi dengan keteguhan hati dan pemikiran rasional. Manfaat lainnya yakni meningkatkan rasa kebersamaan dan dukungan keluarga, meningkatkan empati, media pembelajaran tentang sejarah dan budaya, mengajarkan moral dan nilai-nilai kehidupan, mendorong kreativitas dan imajinasi, serta menyediakan saluran diskusi dan interaksi sosial.Â
Acara dilanjutkan dengan tanggapan dari Sunu Wasono yang sebelumnya merupakan dosen FIB UI dan penulis di berbagai media. Ia kurang setuju dengan pernyataan mas Yon tentang sastra horor  harus dapat diterima semua kalangan. Ia meyakini setiap karya punya pembaca tersendiri, sehingga hak masyarakat untuk memilih jenis sastra yang disukainya.Â
Lantas apakah cerita horor identik dengan pembodohan? Bisa ya, bisa tidak, ujarnya. Ia lebih setuju jika masyarakat diajarkan berpikir kritis daripada mereka dilarang memproduksi cerita horor.Â
Sunu juga kurang setuju jika horor hanya identik dengan makhluk gaib seperti yang disebutkan oleh Yon Bayu. Mengutip dari penelitian yang dilakukan Nariswari, horor dibagi menjadi tiga yaitu uncanny yang bersifat supranatural, marvelous atau fenomena tidak masuk akal seperti zombie, serta horor fantastic yang menggiring pembaca pada keraguan. Ia lebih setuju jika penyajian menjadi kunci utama horor tidaknya sebuah cerita.Â
Sunu setuju dengan pernyataan Ni Made atas manfaat cerita horor. Sastra horor berhak hidup dan punya pembaca tersendiri. Agar tidak terjadi pembodohan, maka pembaca perlu bersikap kritis.Â
Setelah dibuka sesi tanya jawab, ada banyak tanggapan dan testimoni dari para peserta. Budi Maryono praktisi film, Bambang, dan Ikhwanul mengritisi soal definisi horor. Mereka kurang setuju jika horor hanya tentang makhluk gaib, teror dan hal-hal lainnya seperti pandemi juga bisa menjadi kisah horor. Cara penyajian cerita juga penting dalam menentukan apakah cerita tersebut masuk horor atau tidak. Sedangkan Risa setuju dengan pernyataan manfaat dari kisah horor berkaitan dengan kearifan lokal.Â
Acara diramaikan dengan pertunjukan pembacaan puisi Penguburan karya Sapardi Djoko Damono oleh Boyke Sulaiman. Dilanjutkan dengan Cerita Buat Dien Tamaela oleh Buncha, dan pembacaan puisi Mastodon dan Burung Kondor oleh Puguh dari Bengkel Renda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H