Kondisi sungai di Indonesia begitu mengenaskan. Berdasarkan data WHO, sungai di Indonesia yang tercemar dan mengandung mikroplastik mencapai 80 persen. Sedangkan berdasarkan pemantauan 2.070 sungai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya 19 persen sungai di Indonesia yang masih dalam kondisi baik. Sungai sendiri sangat penting kontribusinya bagi kehidupan makhluk hidup. Oleh karena itu dalam rangka Hari Sungai Nasional yang diperingati setiap 27 Juli, KlikFilm mengadakan special screening dengan memutar dua film sekaligus, Burning Days dan Evil Does Not Exist.
Sungai erat kaitannya dengan ketersediaan air tawar bagi makhluk hidup. Memang air bisa didapatkan dengan membuat sumur untuk mendapatkan air tanah. Namun konsumsi air tanah secara berlebihan akan berdampak pada ekologis, seperti penurunan muka tanah dan terjadinya intrusi air laut.
Kondisi sungai di Indonesia memang sudah lama memprihatinkan. Tahun-tahun lalu Sungai Citarum masuk sebagai lima besar sungai terkotor di dunia. Bahkan Sungai Citarum ini masuk dalam dokumenter series dokumenter berjudul 72 Dangerous Places to Live di episode That Sinking Feeling. Film dokumenter lainnya yang mengupas tentang sungai tercemar adalah Sungai Plastik.
Isu tentang air bersih ini juga banyak disuarakan di film mancanegara. Franchise James Bond yang berjudul Quantum of Solace menekankan tentang nilai air bersih yang lebih berharga daripada emas berlian dan minyak bumi. Film-film lainnya yang mengupas perdagangan air dan mulai langkahnya air bersih yaitu Blue Gold: World Water Wars, Water on the Table, dan Flow: For Love of Water.
Hari Sungai Nasional sendiri jika dibandingkan dengan hari-hari nasional lainnya jarang disorot. Padahal sungai juga memegang peranan penting dalam kehidupan makhluk hidup. Andaikata seluruh sungai tercemar dan cadangan air tanah habis, apa yang bakal terjadi? Makhluk hidup tidak bisa hidup bukan tanpa air?!
Oleh karena itu ketika melihat dua film yang disajikan di nobar spesial ini, aku langsung tertarik. Kedua film ini, Burning Days dan Evil Does Not Exist, sama-sama membahas tentang air, di mana juga ada keterkaitannya dengan kondisi sungai setempat. Acara pemutaran ini diadakan Sabtu malam, 27 Juli, di CGV Grand Indonesia. Dari KOMiK, ada beberapa Komiker yang hadir dan antusias menyaksikan dua film yang diputar secara maraton.
Tentang Apa Burning Days dan Evil Does Not Exist?
Kedua film ini sama-sama mengangkat tentang kebutuhan air dan ekologis, namun memiliki premis berbeda. Burning Days membahas tentang bahaya konsumsi air tanah berlebihan serta pipanisasi air dari sungai atau danau yang terganjal oleh pihak yang korup. Sementara Evil Does Not Exist menguraikan kegelisahan warga pegunungan ketika datang pengembang wisata glamping yang mengancam kualitas sumber air pegunungan.
Yuk bahas satu-persatu
Burning Days yang Bikin Penonton Ikut Merasa Gerah
Burning Days merupakan film Turki yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Emin Alper. Film ini mengisahkan sosok Emre (Selahattin Pasali), seorang jaksa penuntut umum yang ditugaskan di kota kecil bernama Balkaya. Di sana ia menjumpai kebiasaan warga yang berburu babi hingga di dalam kota. Ia juga menyelidiki lubang besar (sinking hole) yang muncul di pinggiran kota. Ia juga melihat antrian warga  membawa jurigen untuk mendapatkan air bersih.
Masalah air menjadi isu utama di kota tersebut. Para politisi berlomba memberikan solusi air ini untuk pemilihan walikota berikutnya. Emre kemudian masuk dalam pusaran polemik air ini.
Pada awal film, penonton diajak melihat lubang besar yang ada di pinggiran kota. Lubang tersebut demikian besar, sementara latar di sekelilingnya semacam gurun pasir yang membentang luas.
Selanjutnya penonton langsung diperlihatkan dengan kesulitan warga mengakses air bersih. Air kran tidak ada yang menetes. Setiap hari terlihat antrian warga untuk mendapatkan air. Emre juga mengalami hal yang sama. Air di rumah sewanya juga tidak mengalir.
Ini begitu kontras dengan adegan berikutnya di mana memperlihatkan danau yang jernih dan luas di pinggiran kota. Kemudian ada rumah-rumah besar milik pejabat yang kamar mandinya penuh dengan air dan tak pernah kesulitan mengakses air. Ada apa sebenarnya dengan pengelolaan dan penyaluran air di kota ini?
Film ini menggunakan konflik yang berlapis. Isu utama dibungkus dengan konflik lainnya seperti pencarian pelaku pemerkosaan seorang gadis Gypsi dan perburuan hewan liar yang berlebihan.
Jajaran pemain memberikan performa yang apik, terutama di bagian menjelang akhir film, yang terasa ketegangannya. Nuansa Turki memang kurang terasa di sini, bahkan penggambaran kota ini seperti penggambaran kota-kota di Amerika Latin ala Hollywood.
Namun yang paling membekas di film ini adalah visualisasinya dan bagaimana sutradara memperlakukan tiap adegan sehingga penonton bisa ikut merasai suasana gerah di film ini, baik karena cuaca panas dan begitu terbatasnya air, maupun gerah karena situasi politik dan permainan kotor yang dilakukan beberapa pihak. Gambar-gambar gurun yang gersang, air kran yang tidak mengucur, keringat, serta warga yang kepanasan mengantri air membuat penonton ikut kegerahan. Apalagi gambar-gambar di gurun ini begitu terang.
Kondisi ini dikontraskan dengan adegan di kamar mandi pejabat dengan air yang berlimpah kemudian gambar danau yang luas dan jernih. Penonton seperti juga ikut merasai kelegaan dan segarnya mandi di danau. Apresiasi buat Christos Karamanis si sinematografer dan divisi artistik yang bisa menghadirkan suasana seperti yang ingin disampaikan sang sutradara.
Evil Does Not Exist yang Sejuk dan Menghipnotis
Berkebalikan dengan Burning Days yang bikin gerah, pengalaman menyaksikan Evil Does Not Exist malah menyejukkan. Hal ini disebabkan film Jepang ini memiliki latar belakang di pegunungan.
Film dibuka dengan bentang alam pegunungan di area hutan dengan pepohonan tinggi. Musik latar mengiringi memberikan nuansa menenangkan. Kamera kemudian menyorot seorang pria yang menebang kayu, lalu mengumpulkan air dari mata air pegunungan di wadah-wadah. Ia adalah Takumi (Hitoshi Omika), pekerja serabutan yang hidup berdua dengan putrinya, Hana.
Hana mewarisi karakter dan pengetahuan ayahnya yang suka bereksplorasi alam. Ia diajarkan mengenal tanaman hutan, tempat rusa minum dan pengetahuan tentang alam liar lainnya. Oleh karenanya ia suka berkeliling hutan baik sendirian atau bersama ayahnya.
Kondisi desa yang damai berubah ketika datang pekerja agen bakat yang ingin membuka wahana rekreasi glamping di area rusa. Para warga kompak menolak rencana tersebut, apalagi ketika  tangki pembuangan limbah pengunjung tempatnya berdekatan dengan sumber mata air. Ini akan mencemari mata air mereka, yang juga bisa berdampak hingga ke hilir.
Kedua staf tersebut mendengarkan keluhan warga dan menyampaikan ke atasannya
Namun atasannya menampik protes tersebut dan berniat teru melanjutkan rencana. Bahkan si atasan mengusulkan untuk menyuap Takumi, yang bersuara lantang dan paham akan kondisi pegunungan tersebut.
Film yang naskahnya ditulis dan dibesut oleh Ryusuke Hamaguchi ini memiliki atmosfer yang misterius dan menghipnotis dengan visual yang banyak memperlihatkan bentang alam pegunungan yang indah namun juga sepi. Danau yang luas dan biru seperti hidden gem di tengah hutan belantara.
Film ini membungkus pesan utamanya dengan sikap Takumi yang susah ditebak dan upaya dari pekerja glamping untuk 'menjinakkan' para warga. Isu film ini terasa relevan dengan kondisi di tanah air karena tak sedikit obyek wisata dan pembangunan vila-vila besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia yang malah merusak ekosistem setempat.
Ryusuke Hamaguchi menyampaikan uneg-unegnya lewat dialog antara pekerja glamping dan warga pegunungan. Di situ nampak  poin-poin kekuatiran warga akan rencana pembangunan glamping dari ancaman kualitas air bersih, ancaman kebakaran hutan karena tak ada penjagaan saat malam hari, dan kompetensi pengembang yang tak sesuai dengan bidang mereka yaitu agen bakat. Takumi kemudian menambahkan isu yang tak kalah penting yaitu ancaman terhadap habitat rusa.
Menyaksikan film Evil Does Not Exist ini membuatku terharu. Aku seperti diingatkan betapa masifnya kerusakan alam di negeri ini dengan alasan peningkatan ekonomi dan pembangunan. Warga penduduk di film tersebut kukuh mempertahankan kualitas sumber air. Jika sumber air pegunungan saja tercemar, bagaimana kualitas air yang akan didapatkan oleh warga yang hidup di dataran rendah?
Film ini bisa kalian saksikan mulai besok, 1 Agustus di platform KlikFilm. Selamat menonton dan selamat Hari Sungai Nasional. Yuk mulai sekarang kita peduli dengan kondisi air bersih dan sungai di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H