Penjajahan dan peperangan membuat banyak warga sipil menderita. Tak terkecuali anak-anak. Giman, yang pincang sejak lahir, terpisah dari keluarganya sejak penjajahan Jepang. Nenek yang satu-satunya tinggal bersamanya, ditemukan telah tak bernyawa, ketika terjadi serangan bom udara pada saat agresi militer Belanda. Cerita kehidupan Giman yang terlunta-lunta tersaji dalam film berjudul Si Pinjang.
Ya meski Indonesia sudah merdeka, nasib Giman tak kunjung membaik. Giman bukan satu-satunya anak-anak yang dipaksa bekerja keras di jalanan. Ia kemudian terpaksa bergabung dengan kelompok gelandangan yang terdiri dari anak-anak terlantar. Hingga suatu ketika ada ancaman kelompok yang terdiri dari pengemis dan pencopet itu akan ditangkapi.
Film yang dibesut oleh Kotot Sukardi ini dirilis tahun 1951, setahun setelah Darah dan Doa karya Usmar Ismail diproduksi. Pada tahun 1950-an, industri perfilman nasional memang mulai merekah, dengan kualitas cerita dan gambar yang makin mumpuni.
Film Si Pintjang yang berdurasi 67 menit terasa istimewa karena tokoh utamanya adalah anak-anak, dengan latar waktu Indonesia yang usianya masih muda. Jika diperhatikan pada tahun 1950-an memang ada beberapa film yang menyoroti kehidupan sejumlah kalangan yang tak kunjung membaik meski Indonesia sudah merdeka, seperti Darah dan Doa dan Lewat Djam Malam.
Cerita Si Pintjang memang melodramatis. Cerita perjuangan Giman begitu mengharu biru. Dalam sebuah adegan, ia merasa merasa bersalah ketika kehadirannya membuat sepasang suami istri bertengkar karena sang istri merasa tidak sanggup jika harus menanggung anak satu lagi sementara anak-anak mereka sudah banyak.Â
Ia kemudian memutuskan mengadu nasib ke Yogyakarta, hidup keras di jalanan. Meski ia pincang, ia bukan pemalas, ujarnya, ketika orang-orang sekelilingnya ragu apakah dirinya mampu bekerja. Melihat cerita Si Pintjang, membuatku bertanya-tanya, apakah cerita si Giman dan kelompok anak terlantarnya terinspirasi dari kisah Oliver Twist karya Charles Dickens.
Film ini sendiri masih menggunakan format hitam putih. Meski dibuat lebih dari 70 tahun silam, kualitas gambarnya terbilang lumayan bagus dan desain produksinya cukup detail. Jalanan Jogja yang relatif masih sepi usai Indonesia merdeka disandingkan dengan desa tempat Giman dibesarkan yang porak-poranda setelah serbuan tentara sekutu dan Belanda. Ada adegan yang menunjukkan serangan udara juga.
Film ini sendiri juga memiliki berbagai sisi yang menarik sehingga menjadi salah satu film yang mendapat cukup banyak sorotan hingga kini. Sutradara Si Pintjang, Kotot Sukardi, rupanya aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Posisinya saat itu sebagai Wakil Ketua Lembaga Film Indonesia, yang di bawah Lekra. Pada tahun 1965, sejumlah karya seni berkaitan dengan organisasi tersebut dilarang dan dimusnahkan. Namun untunglah karya-karya Kotot selamat dan tersimpan di Sinematek.Â
Mantan guru ini mendapatkan Satyalancana Kebudayaan pada tahun 2015. Ia dianggap sebagai perintis film anak-anak Indonesia.
Film Si Pintjang memang unik. Para pemeran anak-anak dalam film ini dalam kehidupan nyata ternyata juga anak-anak jalanan. Kotot mengumpulkan mereka dan kemudian melatihnya berakting. Hasilnya, akting mereka terasa lebih natural, meski memang ada bagian yang terasa kurang konsisten saat pemeran utama memerankan kondisi orang yang pincang.
Film ini sendiri juga disebut film anak-anak pertama di Indonesia yang ditayangkan di luar negeri. Film ini tayang di Festival Film Internasional Karlovy Vary di Cekoslowakia pada tahun 1952.
Si Pintjang merupakan film produksi PFN yang saat itu masih memiliki nama Perusahaan Film Negara. Kamera film Mitchell BNC yang merekam film Si Pintjang saat ini masih tersimpan dengan baik di Museum Penerangan. Kalian bisa melihatnya nanti di peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret mendatang di Museum Penerangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H