Chaerul Umam selain dikenal sebagai sutradara film komedi romantis juga dikenal sebagai sutradara film religi yang mumpuni. Ia pernah menggarap Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, Nada dan Dakwah, juga Titian Serambut Dibelah Tujuh. Film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang dirilis tahun 1982 berhasil mengangkat namanya.  Film ini merupakan karya puncaknya dengan mengantongi 10 nominasi pada Festival Film Indonesia tahun 1983 dan berhasil membawa pulang piala Citra untuk kategori penulis skenario terbaik. Tentang apakah Titian Serambut Dibelah Tujuh tersebut?
Film ini termasuk salah satu film religi yang masuk dalam daftar direkomendasikan. Naskah skenario film ini digarap oleh Asrul Sani dan dibintangi oleh El Manik, Rachmat Hidayat, Dewi Irawan, dan Ida Leman. Ini adalah film religi dengan tema yang serius dan berat pada masanya, serta masih relevan hingga saat ini.
Dikisahkan seorang guru mengaji bernama Ibrahim (El Manik) dengan semangat bersepeda menuju kampung di Tanjung Beringin. Dalam perjalanan ia berjumpa musafir tua misterius (Darussalam) yang menyebut warga kampung itu hidup seperti layang-layang putus.
Ibrahim terkejut ketika mendapati kelakuan warga di desa tersebut jauh dari kebaikan. Sekelompok warga asyik berjudi, mabuk-mabukkan, dan berzina. Bahkan guru agama yang dihormati, Pak Sulaiman (Rachmat Hidayat) tak sanggup mengubah moral mereka.
Situasi makin peluk ketika seorang gadis muda pendiam, Halimah (Dewi Irawan) hendak diperkosa. Alih-alih mendapat keadilan, si pelaku malah mengompori warga agar si gadis dipasung dengan dalih si gadis tersebut kurang waras. Ibrahim kemudian juga dituduh sebagai pelaku pemerkosaan Jamilah, istri seorang yang berkuasa di desa tersebut. Ia ketakutan.
Film Titian Serambut Dibelah Tujuh ibarat sebagai novel sastra yang lumayan berat dan puitis. Asrul Sani menggarap naskahnya dengan sungguh-sungguh dengan berbagai referensi, salah satunya kisah Nabi Yusuf. Ia sendiri sebelumnya membesut film ini pada tahun 1959 dengan dibintangi S. Effendi, A. Hadi, Tatik Maliyati, Â dan Enny Rochaeni. Ya, film rilisan 1982 adalah remake, sementara film perdananya sulit ditemukan saat ini.
Ada banyak hal menarik terkait film ini sehingga masuk sebagai film religi yang patut ditonton hingga saat ini. Konflik yang ditemukan dalam film ini masih relevan, seperti tabiat warga yang sering melakukan tindakan maksiat sulit diubah dan pemimpin setempat yang tertekan dan seperti di bawah kendali mereka.
Karakter-karakter dalam film ini juga unik dan menarik disimak. Ada sosok musafir tua yang bukan orang biasa. Ia memberikan wejangan yang tepat sasaran ke tokoh utama dan pemimpin agama setempat, seperti hidup bagaikan layang-layang putus dan tak ada nahkoda.
Kemudian ada sosok guru ngaji dan pemimpin setempat, Haji Sulaiman, yang kesulitan mengubah tabiat warganya sehingga cenderung pura-pura tidak tahu. Ia diberi perumpamaan seperti punya mata tapi tidak melihat.
Kemudian ada suami istri kaya raya, Â Harun dan Jamilah, yang punya pengaruh kuat di kampung tersebut. Masing-masing memiliki sosok idaman lainnya dari sesama jenis. Isu ini sesuatu yang berani ditonjolkan pada masa tahun 1959.
Nah, sosok Halimah si gadis yang dituduh gila dan dipasang juga digambarkan memiliki penampilan yang unik. Ia cantik, pendiam, dan ke mana-mana membawa burung dalam sangkar. Keberadaan burung ini seperti simbolisasi kehidupan Halimah yang sulit dan tertekan di desa tersebut. Ia juga lebih suka berbicara dengan burung daripada dengan manusia.
Sementara tokoh utama, Ibrahim, digambarkan sebagai sosok manusia biasa. Ia bukan nabi ataupun wali. Ia hanya guru ngaji biasa yang juga punya rasa takut. Ketika ia dituduh memperkosa, ia memilih lari. Ia takut dibunuh karena Ia bukan siapa-siapa di kampung tersebut. Posisi Ibrahim di kampung tersebut diibaratkan meniti di rambut yang dibelah tujuh, tentunya sangat berbahaya saat melangkah.
Dari segi artistik dan sinematik, film ini mampu memberikan gambar-gambar menawan di kampung di Sumatera Barat dengan alamnya yang masih asri. Berkat kerja sama yang apik antara penata artistik Radjul Kahfi dan pengarah sinematografi M. Soleh Ruslani alam Sumatera Barat yang indah tersebut nampak kontras dengan situasi di tempat judi dan rumah Pak Harun. Kondisi di tempat pemasungan juga begitu memprihatinkan. Sedangkan warna-warna dalam film yang didominasi biru dengan kabut memberikan nuansa misterius mencekam.
Oh iya jangan lupakan tata musik di film ini yang dikomandani oleh Franki Raden. Musik yang menggelegar mendominasi di film ini. Alhasil atmosfer dalam film ini terasa seperti film horor. Musik yang mencekam ini berhasil mendramatisasi adegan dan juga menguatkan makna bahwa situasi yang horor bukan hanya disebabkan berjumpa makhluk halus yang mengerikan, melainkan juga dikarenakan berada di tempat yang sama dengan orang-orang yang memiliki perilaku berbahaya.
Detail Film:
Judul: Titian Serambut Dibelah Tujuh
Genre: Religi
Sutradara: Chaerul Umam
Pemain: El Manik, Rachmat Hidayat, Ida Leman, Dewi Irawan, Darussalam, Sukarno M. Noor
Skor : 8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H