Setelah puas menyaksikan dan berkhayal tentang posisi para arca di Candi Singhasari, aku memasuki ruangan berikutnya yaitu ruang imersif. Di sini ada cerita rangkaian sejarah panjang proses pengembalian artefak ke tanah air lewat visual yang menarik.
Nah berikutnya pengunjung benar-benar dilarang untuk merekam. Cerita berlanjut ke koleksi Pangeran Diponegoro dari tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Kiai Gentayu, keris Kiai Nogo Siluman, dan tongkat Kiai Tjokro. Benda pusaka ini membantu Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa yang ampuh membangkrutkan VOC.
Koleksi keris Klungkung membuatku takjub. Keris ini nampak indah dan mewah, dengan sentuhan emas dan hiasan baru mulia. Keris ini baru tiba bulan November, sehari sebelum disematkannya gelar pahlawan nasional ke Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe.
Ketika membaca detail cerita perjuangan rakyat dan Raja Klungkung di katalog, aku begitu sedih. Korban jiwa begitu banyak di pihak Klungkung, lebih dari seribu jiwa. Raja Klungkung bertempur hingga titik darah penghabisan. Rupanya aku tak banyak tahu tentang peristiwa ini yang berkaitan dengan perdagangan candu di Bali.
Cerita berlanjut tentang koleksi perhiasan yang dirampas Belanda dari Kerajaan Lombok. Koleksinya dari cincin, bros, kotak bako, hulu atau gagang keris, hingga hiasan dinding atau panel. Koleksi perhiasan tersebut mencapai 230 kilogram emas, 7.000 kilogram perak, kotak bako, dan berbagai batu mulia.Â
Nah untuk panel sendiri ini seperti hiasan dinding dengan gambar hewan-hewan mitologi yang terpengaruh dari kebudayaan Tiongkok. Warna panelnya masih tajam, yaitu dominan merah dan emas.
Sementara koleksi Museum Nusantara menampilkan artefak bersejarah lainnya yang juga dikembalikan ke tanah air, seperti aneka keris, benda-benda upacara, perhiasan, kain tenun, dan lainnya.
Setelah keluar dari ruangan, aku mengobrol dengan beberapa pengunjung sembari mencoba panel interaktif yang menjelaskan secara singkat sejarah repratiasi dan posisi arca di Candi Singhasari.Â
Wah melihat animo masyarakat yang besar, sepertinya pameran ini perlu diadakan kembali atau sambil menunggu koleksi seni Pita Maha Bali yang direncanakan kembali akhir tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H