Tayung selalu menggunakan bedak masker ketika beraktivitas. Bedak tersebut dibuat dari beras dan campuran lainnya yang dihaluskan, lalu dioleskannya ke wajahnya. Rupanya bedak tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tabir surya, melainkan tanda bahwa ia sebagai perempuan suku Bajo sedang berduka.Â
Cerita Tayung dan kehidupan suku Bajo di Wakatobi tersaji dalam film Laut Bercermin (The Mirror Never Lies).
Tayung (Atiqah Hasiholan) berduka karena suaminya tak kunjung pulang dari melaut. Awalnya ia terus menanti dan menanti. Namun lama kelamaan ia pasrah dan merelakannya.Â
Ia kemudian menghidupi dirinya dan putrinya, Pakis (Gita Novalista) dengan mencari teripang dan menjualnya ke pasar. Saat seorang peneliti biota laut, Tudo (Reza Rahadian) datang ke perkampungan mereka, tetua adat memberikan keputusan agar ia menyewa kamar milik Tayung.
Cerita keluarga Tayung kemudian digerakkan oleh konflik yang dialami putrinya semata wayang. Pakis terobsesi dengan ritual cermin. Konon cermin dapat memunculkan sesuatu yang mereka harapkan. Ia penasaran kapan bayangan ayahnya muncul dalam cermin tersebut.
Sebuah Cerita yang Kental dengan Unsur Tradisi Suku Bajo
Suku Bajo berasal dari Sulawesi. Ada yang menyebut mereka berasal dari Togean, Sulawesi Tengah, ada juga yang menyebut suku Bajo berasal dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Namun, ada pula sumber yang menyebutkan suku Bajo atau suku Bajau berasal dari Filipina bagian selatan.
Suku Bajo sejak dulu dikenal sebagai nelayan dan pengembara laut yang ulung. Anak-anak saja sudah tangkas berperahu. Selain piawai melaut dengan perahu dan pandai membaca tanda-tanda alam yang membantu mereka melakukan navigasi di lautan, mereka juga rata-rata memiliki kemampuan menyelam yang sangat unggul. Mereka bisa menyelam tanpa bantuan alat sampai 70 meter.
Mereka juga dikenal sebagai suku laut yang nomaden. Alhasil ada yang menyebut mereka sebagai gipsy lautan atau pengembara laut. Tak heran jika suku Bajo kemudian menyebar.Â
Ada yang di Berau, Tarakan, Kotabaru, dan Bontang di Kalimantan, berbagai wilayah di Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, hingga di Sumenep. Suku Bajo juga ditengarai tersebar di di Sabah, Malaysia dan di Madagaskar.
Suku Bajo awalnya tinggal di rumah panggung di atas laut. Namun kemudian sebagian dari mereka membangun rumah panggung di daratan sehingga disebut suku Bajo laut dan suku Bajo daratan.
Seperti suku bangsa di Indonesia, mereka juga memiliki tradisi yang unik, baik tradisi sehari-hari, kuliner, juga hal-hal yang terkait dengan upacara dan ritual. Sebagian dari tradisi dan keunikan suku Bajo tergambar dalam film Avatar: The Way of Water. Namun kali ini saya ingin mengupas tradisi dan keunikan suka Bajo yang disajikan Kamila Andini dalam Laut Bercermin yang dirilis tahun 2011.
Kamila mewarisi darah seni dari ayahnya, Garin Nugroho. Serupa dengan ayahnya, ia kerap membubuhkan unsur tradisi dalam film-film buatannya. Ada tradisi dan unsur sosial Banten dalam Yuni, mitos dan tradisi suku Bali dalam Sekala Niskala, dan suku Sunda di Before Now and Then (Nana).
Dalam Laut Bercermin, ia melakukan riset selama dua tahun tentang kehidupan Suku Bajo. Dan hasilnya adalah ia memberikan cerita yang menarik tentang kehidupan suku Bajo Laut dengan detailnya seperti bahasa daerah, makanan, adat-istiadat, dan rumah baboro, dengan visual yang menawan.
Dalam film ada upacara adat, semacam festival budaya dan ritual yang ditampilkan. Yang menarik ada upacara semacam perjodohan sejak kecil. Suku Bajo lautan dan daratan bertemu di acara ini. Pakis dan kawannya, Mulo, nampak penasaran dengan kegiatan ini. Seorang kawannya yang lain, kemudian mendendangkan lagu-lagu daerah yang menyayat, seperti sedang patah hati.
Kasuami, makanan dengan bentuk kerucut seperti tumpeng beberapa kali nampak dalam film. Makanan ini mengenyangkan karena dibuat dari parutan singkong yang dikukus. Kasuami bisa disantap biasa atau ditemani aneka lauk sebagai pengganti nasi.
Masih banyak detail lainnya tentang kehidupan suku Bajo di film yang mendapatkan tiga Piala Citra ini. Tak lupa Kamila menyusupkan pesan cinta lingkungan lewat kebiasaan Pakis yang mengambil ikan kecil yang ada di tangkapan tetangganya dan melepaskannya kembali ke lautan.
Cerita yang apik dan visual yang memikat ini berkat kerja sama dan yang baik seluruh kru dengan karakter yang berhasil dihidupkan dengan baik oleh Atiqah Hasiholan dan Gita Novalista sebagai ibu dan anak yang sama-sama merasa kehilangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H