Dulu-dulu di kalangan Kompasianer ada istilah kutukan Kompasiana Award. Isi kutukannya di antaranya menyebutkan mereka yang menerima award akan segera menghilang dari peredaran di Kompasiana, baik vakum menulis di Kompasiana maupun tak ikut sama sekali kegiatan yang diadakan di Kompasiana.
Jika mengikuti daftar peraih Kompasiana Awards, memang cukup banyak para peraih award yang tak terlihat lagi aktivitasnya di Kompasiana. Mereka vakum menulis di Kompasiana. Ada yang seperti hilang tanpa jejak, namun tak sedikit yang berpindah menulis ke platform tulisan lainnya atau sibuk dengan kegiatan lainnya
Hal tersebut menurutku bukan sebuah kutukan, melainkan hal yang biasa terjadi di manapun. Bisa jadi ada banyak penyebab mereka meninggalkan Kompasiana. Yang pertama bisa jadi Kompasiana sudah dianggap kurang menarik, terlalu banyak iklan yang menutupi kenyamanan membaca, kurang menghasilkan dan sebagainya. Alasan lainnya bisa jadi award tersebut adalah batu loncatan untuk meraih karier yang lebih baik di tempat lain.
Pilihan apapun untuk bertahan atau meninggalkan Kompasiana adalah sebuah hal yang wajar dan manusiawi. Bisa jadi suatu ketika mereka akan kangen dan kembali menulis di Kompasiana.
Untunglah dari sekian banyak peraih Kompasiana Award, masih banyak yang kebal terhadap 'kutukan'. Mereka kusebut loyalis, seperti Opa Tjiptadinata Effendi yang meraih Kompasianer of the Year tahun 2014; mas Rahab Ganendra peraih  best in fiction; juga mbakyu Wahyu Sapta dan Lilik Fatimah yang keduanya peraih best in fiction.  Di kalangan Kompasianer of the Year juga ada mas Agung Handoyo, mba Gaganawati Stegmann, dan Andri Mastiyanto yang juga masih rajin menulis dan beraktivitas di Kompasiana.
Aku juga beruntung masih kebal terhadap kutukan Kompasiana Award. Andaikata aku  bukan salah satu peraih award pun, kemungkinan besar aku juga tetap bertahan di platform menulis satu ini, karena bagiku award adalah sebuah bonus dan apresiasi.
Selama 13 tahun bergabung di Kompasiana dan 10 tahun aktif menulis di Kompasiana, menurutku  Kompasiana bukan sekadar platform untuk menulis dan membagikan tulisan. Ada unsur jejaring, menambah ilmu, dan berkontribusi ke sekeliling. Aku jadi punya semacam keluarga tambahan di sini. Itulah yang membuatku masih betah bertahan di sini meski ya adakalanya aku mengeluh dan mengomel tentang tampilan dan kondisi di Kompasiana yang kurang nyaman.
Tak sedikit gagasanku yang terwujud ketika aku bergabung di sebuah komunitas yang ada di bawah Kompasiana. Mungkin dulu juga tak terbayang suatu ketika aku bisa membuat skenario film dan kemudian membuatnya jadi film betulan bersama KOMiK.
Oleh karenanya bagi mereka yang kecewa karena belum mendapat nominasi Kompasiana Award dan belum pernah meraihnya, maka kekecewaan itu wajar. Jika terus membandingkan dengan pencapaian orang lain maka bisa jadi kalian akan merasa kecewa atau merasa mandeg. Tapi coba lihat juga pencapaian kalian selama ini, bandingkan dengan diri kalian setahun atau beberapa tahun lalu. Bisa jadi kini tulisan kalian lebih enak dibaca, makin banyak yang dapat label pilihan, hingga bisa meraih penghargaan di ajang lomba yang diadakan Kompasiana maupun komunitas. Atau bisa jadi kalian makin rajin menulis. Itu juga sebuah prestasi lho.
Mendapatkan award di Kompasiana memang menyenangkan. Harus kuakui aku merasa terharu  dan senang karena merasa mendapatkan apresiasi. Award itu juga menjadi catatan portofolio menarik dan memang bisa jadi batu pijakan ke karier berikutnya.