Museum ini tidak besar dan koleksinya juga nampaknya tidak begitu banyak, kebanyakan isinya adalah narasi, foto-foto, koleksi benda-benda pribadi, dan klipingan. Tapi tidak apa-apa, aku jadi bisa membaca semua keterangan dan menikmati koleksinya.
Setiap berkunjung ke museum, aku seolah-olah tersedot ke masa lalu. Kali ini aku seperti berada di awal tahun 1900-an hingga tahun 1940-an, masa-masa pergerakan nasional.
Siapakah M.H. Thamrin? Nama lengkapnya adalah Muhammad Husni Thamrin. Ia lahir pada 16 Februari 1894 di daerah Sawah Besar. Meski ia  merupakan anak wedana, M.H.Thamrin dikenal mudah bergaul dan tidak membedakan teman kaya ataupun miskin.
Kedekatannya dengan rakyat kecil membuatnya peduli dengan nasib mereka. Setelah lulus sekolah menengah atas dan sempat bekerja di maskapai perkapalan Belanda, ia pun masuk politik. Ia mulai dari bawah hingga kemudian ia bisa masuk sebagai anggota Gemeenteraad  Belanda (Dewan Kota) pada tahun 1919. Kemudian sejak 16 Mei 1927 ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ia juga mendirikan perkumpulan Betawi pada tahun 1925.
Ia dikenal vokal dengan isu-isu untuk rakyat kecil, baik untuk kaum Betawi maupun daerah-daerah lainnya. Ia berjuang untuk program air bersih, membuka kesempatan belajar lebih besar bagi rakyat, membeli sebidang tanah di daerah Petojo untuk lapangan bola rakyat, dan juga menghapuskan sistem kuli kontrak di Deli Serdang.
Jabatannya sebagai anggota Volksraad tak membuatnya diam dan patuh dengan pemerintah Hindia Belanda. Ia dekat dengan Bung Karno dan menjemputnya saat Bung Karno keluar dari LP Sukamiskin Bandung.
Saat M.H.Thamrin meninggal pada 11 Januari 1941, ada  banyak kalangan masyarakat yang mengantarnya. Ada ribuan masyarakat yang merasa kehilangan akan sosoknya. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak. Ia kemudian mendapat anugerah pahlawan nasional pada tahun 1960.
Di museum ini memang menyimpan banyak kenangan dan sejarah hidup M.H.Thamrin. Ada meja kursi tamu yang pernah dipergunakan almarhum, meja makan, radio Philips, blangkon, juga potret M.H. Thamrin bersama istrinya, Nyi Otoh Arwati. Â
Lalu juga ada lukisan dan diorama yang menggambarkan penggeledahan kamar oleh Polisi Hindia Belanda (PID) pada 6 Januari 1941. Saat itu ia lagi sakit dan demam beberapa hari. Ia kemudian dijatuhi hukuman tahanan rumah. Tak boleh ada yang keluar masuk tanpa seijin aparat tersebut. Penyakitnya pun tambah parah dan tak lama kemudian ia meninggal dunia.