Sebelum Joko bersama tim dan warga desa sukses mengangkat air di bawah permukaan tersebut, para warga biasanya harus berjalan kaki begitu jauh untuk mendapatkan air.Â
Pada dini hari dan ketika matahari terbenam mereka berjalan dua kiloan untuk mengangkut air dari sumur bor Bayanan dengan jeriken yang dipikul atau tempayan yang digendong.Â
Ada kalanya sumur tersebut benar-benar kering sehingga warga harus mengeluarkan dana yang tak kecil untuk membeli air. Mandi dua kali sehari adalah kemewahan bagi warga Desa Pucung saat itu.
Melihat kondisi warga Desa Pucung yang sering kesusahan mendapatkan air, Joko yang berasal dari Klaten, ikut merasa prihatin dan bersimpati. Ia menyampaikan penemuan air tersebut ke warga desa, namun karena lokasi airnya di bawah permukaan dan Gua Suruh tersebut merupakan jenis gua vertikal yang curam, maka Joko dan warga desa juga kebingungan untuk mengalirkan air tersebut ke permukaan.
Lewat proposal pengajuan bantuan dan penggalian informasi tentang pengangkatan air  sungai bawah tanah di berbagai literatur, Joko tak pantang menyerah menyampaikan gagasannya tersebut dan berupaya mewujudkannya.Â
Ia terlanjur jatuh cinta dengan karst, bahkan skripsinya yang selesai disusun pada tahun 2008 juga berkaitan dengan karst, yakni Analisis Persebaran Potensi Gua Karst di Kecamatan Giritontro Kabupaten Wonogiri untuk Usaha Konservasi Kawasan Karst.Â
Ia menyelidiki potensi gua karst, termasuk mengidentifikasi keberadaan air di gua tersebut, apakah berbentuk kolam, sungai bawah tanah, atau aliran saat musim hujan.
Usaha Joko Sulistyo untuk membantu warga Desa Pucung tak serta-merta berjalan mulus. Baru sepuluh tahun kemudian, setelah ia dan kawan-kawannya menyampaikan penemuannya, gagasan tersebut didanai dengan dana alokasi khusus  Desa Pucung dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.Â
Bekerja sama dengan para warga desa dan rekan sejawatnya, Joko kemudian membuat bendungan di dalam gua, memasang pompa, dan pipa. Proses tersebut memakan waktu lama, perlu ketekunan dan kesabaran.Â