Nonton di bioskop itu mahal, ujarku. Daripada nonton di bioskop, mendingan uang jajan ditabung lalu dibelikan buku cerita. Itulah si Puspus jaman dulu yang lebih dikenal sebagai kutu buku daripada sinefil seperti sekarang.
Jaman dulu di Malang ada banyak bioskop. Ke luar rumah jalan kaki sekitaran 10 menit sudah bisa duduk manis di lobi bioskop Presiden. Pulangnya bisa jajan bakso yang sedap di belakang bioskop yang dikenal sebagai Bakso Presiden.
Itulah bioskop pertama yang pernah kudatangi saat kecil. Jangan ditanya apa judul filmnya karena saat itu masih kecil dan aku takut gelap. Sepertinya film Mandarin karena dulu sekitaran tahun 90-an ada banyak film Mandarin yang diputar di bioskop. Sayangnya aku tak ingat filmnya atau seperti apa bioskopnya, aku hanya ingat aku malah asyik tidur di bioskop yang gelap dan dingin. Bangun-bangun penonton sudah bubar.Â
Aku dulu tak suka ke bioskop. Penuh sesak karena paman dan bibi suka ajak nonton saat libur lebaran. Entah apa filmnya yang penting seru karena nontonnya rame-rame.Â
Lorong yang sempit dan  studio yang gelap membuatku was-was, takut menginjak kaki dan diinjak oleh pengunjung lainnya. Kok studionya gelap? Karena kami sering datangnya mepet hendak tayang, juga masih antri beli tiket dan camilan.
Bioskop kesukaan paman dan bibi adalah Bioskop di sekitaran Kayutangan dan Klojen. Kami ke sana rame-rame naik becak, bersama para sepupu lainnya. Aku hanya suka momen rame-ramenya nonton bersama sepupu, karena aku suka ngantuk selama nonton di dalam studio yang sejuk dan gelap. Alhasil aku pun lebih sering pulas daripada mengikuti jalan ceritanya.
Hingga kemudian paman bibi jarang mengajak kami karena kesibukan. Aku kembali larut dalam koleksi bukuku dan timbunan kaset milik ayah.
Hanya kakak perempuanku yang meneruskan tradisi nonton di bioskop. Sejak SMP, ia suka nonton bersama teman-temannya sepulang sekolah atau saat sore hari. Ia doyan sekali nonton bioskop. Sementara aku mendengarkan ceritanya dari balik buku.
Aku lebih suka menyimpan tabunganku untuk membeli buku. Baru film-film seperti Jurrasic Park, The X-Files, dan The Matrix, membuatku keluar dari sarangku dan ikut menonton bersama kakak. Saat itu bioskop lawas yang pernah kudatangi bersama paman bibi sudah lenyap. Hanya tertinggal bioskop Sarinah, bioskop di Malang Plaza, bioskop Dieng, dan bioskop Dinoyo.
Saat menonton film bersama kakak, aku merasa lebih dekatnya. Jarak kami terpaut lumayan jauh, sehingga waktu-waktu seperti inilah yang merekatkan dan mendekatkan kami. Aku masih ingat berapa antusiasnya kami menyaksikan The X-Files. Kami sama-sama fans berat serialnya.
Ketika menonton kami membawa payung karena Malang saat itu sering banget hujan, hampir setiap hari. Ketika ada adegan seram, kamu berlindung di balik payung. Untunglah tak ada penonton di kanan kiri dan di belakang kami, sehingga tak terganggu oleh ulah kami. Seusai nonton, kami asyik bercerita, tentang pria perokok, tentang sosok berjulukan Deepthroat dan tiga kawan Mulder yang aneh. Kami kemudian juga memburu poster-posternya.
Momen menyenangkan lagi saat nonton The Matrix. Aku nonton bersama kakak dan sepupu. Menurutku itu cerita yang out of the box pada masa tersebut. Kami ikut bertepuk tangan meriah seusai film. Kami mencari lagu-lagu soundtrack-nya dan tak henti-henti memutarnya. Rasanya keren sekali saat itu dan om Keanu Reeves langsung kujadikan salah satu idola sejak saat itu.
Ya kakak yang mengenalkanku asyiknya nonton di bioskop. Tanpa kakak, aku masih suka berkubang dengan lautan buku, kaset, dan CD MP3 dan sudah merasa puas nonton serial dan DVD di rumah.Â
Aku baru kembali mulai nonton di bioskop ketika sudah bekerja. Dan sekitar satu dekade ini aku malah keranjingan nonton sendirian di bioskop. Lebih bebas milih film dan bisa maraton film. Aku jadi paham kenapa kakak begitu suka nonton di bioskop.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H