Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Julini Tak Pernah Mati, Pementasan Mengenang Pendiri Teater Koma

20 Juni 2023   09:35 Diperbarui: 20 Juni 2023   19:35 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku puas tertawa menyaksikan lawakan Cak Lontong dan Akbar (Dokumentasi pribadi) 

Norbertus Riantiarno atau yang lebih dikenal sebagai Nano Riantiarno merupakan pendiri Teater Koma. Sejak berdiri tahun 1977, Teater Koma telah banyak mementaskan karya sendiri maupun karya dunia. 

Salah satu pementasannya yang populer yaitu Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini). Untuk memberikan penghormatan kepada mendiang Nano Riantiarno, Agus Noor bersama Indonesia Kita dan Teater Koma menghidupkan kembali tokoh Julini lewat pementasan berjudul Julini Tak Pernah Mati.

Pementasan ini dihelat dua hari di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, 16-17 Juni 2023. Pentas ini laku keras terbukti bangku dari lantai dasar hingga lantai tiga hampir semuanya terisi.

Aku sendiri berkesempatan menyaksikan pertunjukan teater ini pada Jumat, 16 Juni. 

Aku langsung tertarik ketika melihat para pemerannya, di antaranya ada Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Rangga Riantiarno, Jajang C. Noer, dan para aktor aktris Teater Koma.

Konsep pertunjukannya adalah semi musikal. Jadinya di beberapa adegan ada adegan tari dan musik. Musik dikomandani oleh Arie Pekar. Sedangkan koreografer tari adalah Josh Marcy dengan para penari dari Dansity. Sutradara pementasan ini adalah Agus Noor.

Baliho Julini Tak Pernah Mati (Dokumentasi pribadi) 
Baliho Julini Tak Pernah Mati (Dokumentasi pribadi) 

Aku kebagian di lantai dua (Dokumentasi pribadi) 
Aku kebagian di lantai dua (Dokumentasi pribadi) 

Aku kebagian duduk di lantai dua di baris terdepan. Dari posisi ini aku masih bisa menyaksikan aksi pelakon dengan jelas. Kualitas audionya juga oke, suaranya jelas dan tidak menggema.

Sekitar pukul 20.15 acara dibuka dengan sambutan dari Butet Kartaredjasa. Bagi Butet para seniman teater, dan para penikmat teater, Nano Riantiarno adalah sosok yang berjasa menghidupkan dan mewarnai teater Indonesia. Lewat pementasan ini mereka mengenang sosok pendiri Teater Koma sekaligus mengingatkan sejarah penting Teater Koma.

Sekitar tiga jam kemudian, aku larut dengan aku panggung mereka. Dikisahkan para pekerja konstruksi tak sengaja membongkar makam. Jenazah dalam makam tersebut masih utuh. 

Ternyata jenazah tersebut adalah Julini, sosok waria yang dulu banyak penggemarnya. Mereka terkejut, antara takut dan kagum ketika mayat tersebut kembali hidup dan kemudian berkelakuan seperti biasa.

Pentas ini menggunakan konsep musikal sehingga juga ada tari dan musik (Dokumentasi pribadi) 
Pentas ini menggunakan konsep musikal sehingga juga ada tari dan musik (Dokumentasi pribadi) 

Kabar kebangkitan Julini menjadi buah bibir. Ada yang memujanya, namun juga banyak yang menganggapnya sebagai sosok berbahaya. Pihak-pihak tertentu kemudian mencoba menyeretnya ke panggung politik untuk menarik massa.

Meski ada banyak pesan penting dalam drama ini yang masih relevan dengan kondisi saat ini, namun drama yang terbagi atas berbagai segmen ini ditampilkan penuh banyolan, tari, dan musik, sehingga terkesan ringan dan mudah diterima penonton. Favoritku tentu saja segmen setiap ada Cak Lontong.

Aku puas tertawa setiap kali Cak Lontong muncul. Meski jika sering menyaksikan aksi panggungnya, gaya melawaknya sebenarnya mirip-mirip, tapi tetap saja berhasil mengocok perut. Gaya khasnya adalah ngeselin dan ngeyel hahaha. 

Kali ini ia kembali berduet dengan Akbar, namun posisinya di pentas tersebut sebagai bawahan sedangkan Akbar sebagai atasannya.

Aku puas tertawa menyaksikan lawakan Cak Lontong dan Akbar (Dokumentasi pribadi) 
Aku puas tertawa menyaksikan lawakan Cak Lontong dan Akbar (Dokumentasi pribadi) 

Properti dan kostum para pemain di pentas ini dipersiapkan dengan baik. Latar panggung memanfaatkan backdrop dari gambar yang salah satunya menggunakan teknologi AI. Ehm apakah tujuannya untuk menyindir teknologi AI yang banyak merugikan seniman seni rupa?

Dari segi dialog dan banyolan, beberapa di antaranya sudah lazim didengar. Ada yang agak vulgar dan sebagian menyentil soal politik. Apalagi beberapa penonton di antaranya adalah para menteri.

Bagian musikal dan koreografinya sendiri mengingatkan akan pentas tahun 80-an dan 90-an. Hal ini seperti mengenang kali pertama Opera Kecoa dipentaskan yakni tahun 1985.

Di lobi Teater Besar juga dipamerkan buku-buku karya Nano Riantiarno, buku tentang Teater Koma, serta poster-poster pentas dan foto-foto dokumentasi Teater Koma.

Pertunjukan ini untuk memberikan penghormatan dan mengenang pendiri Teater Koma (Dokumentasi pribadi) 
Pertunjukan ini untuk memberikan penghormatan dan mengenang pendiri Teater Koma (Dokumentasi pribadi) 

Di lobi dipamerkan sejumlah dokumentasi Teater Koma (Dokumentasi pribadi) 
Di lobi dipamerkan sejumlah dokumentasi Teater Koma (Dokumentasi pribadi) 

Sekitar pukul 23.00 WIB aku memutuskan untuk pulang karena kemalaman dan aku was-was karena pulang sendirian. Pentas belum berakhir dan sepertinya masih lama. Nanti kapan-kapan nonton pementasan teater lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun