Sekitar tiga jam kemudian, aku larut dengan aku panggung mereka. Dikisahkan para pekerja konstruksi tak sengaja membongkar makam. Jenazah dalam makam tersebut masih utuh.Â
Ternyata jenazah tersebut adalah Julini, sosok waria yang dulu banyak penggemarnya. Mereka terkejut, antara takut dan kagum ketika mayat tersebut kembali hidup dan kemudian berkelakuan seperti biasa.
Kabar kebangkitan Julini menjadi buah bibir. Ada yang memujanya, namun juga banyak yang menganggapnya sebagai sosok berbahaya. Pihak-pihak tertentu kemudian mencoba menyeretnya ke panggung politik untuk menarik massa.
Meski ada banyak pesan penting dalam drama ini yang masih relevan dengan kondisi saat ini, namun drama yang terbagi atas berbagai segmen ini ditampilkan penuh banyolan, tari, dan musik, sehingga terkesan ringan dan mudah diterima penonton. Favoritku tentu saja segmen setiap ada Cak Lontong.
Aku puas tertawa setiap kali Cak Lontong muncul. Meski jika sering menyaksikan aksi panggungnya, gaya melawaknya sebenarnya mirip-mirip, tapi tetap saja berhasil mengocok perut. Gaya khasnya adalah ngeselin dan ngeyel hahaha.Â
Kali ini ia kembali berduet dengan Akbar, namun posisinya di pentas tersebut sebagai bawahan sedangkan Akbar sebagai atasannya.
Properti dan kostum para pemain di pentas ini dipersiapkan dengan baik. Latar panggung memanfaatkan backdrop dari gambar yang salah satunya menggunakan teknologi AI. Ehm apakah tujuannya untuk menyindir teknologi AI yang banyak merugikan seniman seni rupa?
Dari segi dialog dan banyolan, beberapa di antaranya sudah lazim didengar. Ada yang agak vulgar dan sebagian menyentil soal politik. Apalagi beberapa penonton di antaranya adalah para menteri.
Bagian musikal dan koreografinya sendiri mengingatkan akan pentas tahun 80-an dan 90-an. Hal ini seperti mengenang kali pertama Opera Kecoa dipentaskan yakni tahun 1985.