Sekitar pukul 16.00 kami sudah merasa bosan dan lelah. Beberapa teman kami yang bandel mulai memikirkan cara untuk kabur.
Kabur dari gerbang depan tentu bakalan mudah ketahuan. Jika ketahuan, maka mereka akan digiring ke ruang guru dan menerima hukuman. Cara yang paling aman yaitu lompat dari tembok samping.
Masalahnya sekolah kami berbatasan dengan rumah sakit. Tembok yang biasa dilompati untuk kabur itu bersebelahan dengan kamar mayat.
Sejak dulu ada rumor seram tentang kelas-kelas di bagian belakang yang bersebelahan dengan kamar mayat. Ada senior yang pernah kesurupan dan cerita-cerita lainnya yang menyeramkan.
Tapi bukankah saat Ramadan, setan dikekang?! Jadi tak bakal ada gangguan mistis. Mungkin itu pikir mereka yang hendak mencari jalan keluar ke sana.
Sementara kami kemudian melanjutkan aktivitas dari berbuka puasa, kultum, hingga sholat tarawih berjamaah, beberapa anak nampaknya sukses kabur dari tembok samping.
Aku tak tahu kabar mereka. Tapi rumornya mereka ketahuan dan kemudian mendapatkan hukuman. Pak guru rupanya jeli memperhitungkan keadaan.
Nostalgia masa kecil saat Ramadan yang kukenang hingga kini tentunya antri tanda tangan dan pesantren kilat. Rupanya kegiatan ini masih dilaksanakan di beberapa sekolah. Jika kebetulan bisa sholat tarawih di kampung halaman dan menyaksikan anak-anak antri tanda tangan ustadz, aku spontan tersenyum lebar. Aku jadi ingat masa kecilku.
Bagaimana dengan kalian, apa kalian juga punya cerita manis atau berkesan tentang masa Ramadan saat kecil?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H