Potongan daging kambing dalam nasi goreng itu makin sedikit. Kuaduk-aduk nasi dalam kotak cokelat itu, sudah tak ada lagi dagingnya. Mungkin tak sampai sepuluh buah jumlahnya. Ukurannya tipis kecil dan liat.
Aku baru merasai nasi goreng kambing  ketika tinggal di Jakarta. Dulu tak pernah.
Di Malang, pernah ada yang menjual nasi goreng mawut dengan potongan daging sapi berbentuk kotak. Namun nasi gorengnya kemerahan, dengan isian bercampur mie dan sayuran. Aku tak pernah lagi menjumpai nasi mawut seperti itu lagi, begitu lezat. Sayangnya  tak ada lagi yang melestarikan resepnya.
Meski nasi goreng mawut saat itu lezat, aku tak pernah lagi menjumpai yang seenak itu lagi di Malang. Aku sendiri sudah mulai lupa rasanya karena dulu ayah membelikan kami saat aku masih sangat belia.
Alhasil nasi goreng terenak yang masih kuingat adalah nasi goreng merah di Surabaya. Isiannya ada daging ayam suwir dan sawi. Nasinya pera, pas banget jadi  nasi goreng.Â
Dulu masa-masa menikmati nasi goreng saat masa kuliah adalah masa yang istimewa. Lezat dan aku berharap bisa ke sana lagi untuk menikmati nasi gorengnya.
Sayangnya di Jakarta aku belum menemukan nasi goreng yang sedap. Rasanya masih masuk kategori biasa saja.
Kebanyakan yang kutemui bukan nasi goreng merah ataupun nasi goreng kampung, melainkan nasi goreng kecap. Aku tak pernah benar-benar bisa menyukainya, kecuali ketika sangat lapar.
Baru kemudian aku paham nasi goreng kecokelatan pas berpadu dengan potongan daging kambing. Apalagi jika ditambah rempah tertentu sehingga rasanya khas.
Ya nasi goreng kambing membuatku percaya Jakarta masih punya nasi goreng yang sedap. Aroma khas daging kambingnya membuat nasi goreng ini jadi punya rasa yang unik.