Sabtu siang menjelang sore, ruangan lantai dua di Baca di Tebet penuh oleh pengunjung. Mereka sedang menyaksikan acara diskusi dalam rangka Festival Kebhinekaan sambil menunggu acara nonton bareng. Sekitar pukul 15.00, Linda Erlina, admin KOMiK, membuka acara nonton bareng.
Ada dua sesi acara nonton Kebhinekaan. Yang pertama adalah nobar dua film tentang pendanaan ISIS yang dilanjutkan sesi diskusi bareng sutradara yakni Ani Ema Susanti. Dan, sesi kedua adalah pemutaran film pluralisme dilanjutkan ngobrol bareng M. Rizal Abdi dari CRCS UGM.
Film pertama berjudul Dari Kecewa Pada Bapak Menjadi Pendana ISIS. Ini merupakan film dokumenter pendek yang mengisahkan sosok pemuda bernama Munir.
Berawal kekecewaannya pada ayahnya, ia bergabung dengan sebuah organisasi agama untuk belajar agama. Ia kemudian tersentuh oleh ISIS dan ingin membantunya lewat kemampuannya mengorganisasi pendanaan via internet. Hampir tiap bulan ia menyetor dana yang cukup besar untuk ISIS.
Munir kemudian terkejut ketika dana tersebut juga digunakan untuk membiayai aksi teroris di Indonesia. Salah satunya di Solo pada tahun 2021. Ia pun kemudian  meminta maaf kepada keluarga korban dan tak lagi berurusan dengan jaringan pendanaan tersebut.
Film berikutnya tentang eks napiter alias mantan narapidana teroris. Ia dibui selama empat tahun (2016-2020). Ketika kembali bebas, ia mengaku dihubungi kembali oleh jaringan teroris, tetapi ia enggan dan memilih mendukung NKRI.
Dua film tersebut menambah wawasan tentang bagaimana  jaringan teroris memanfaatkan keingintahuan para pemuda tentang ilmu agama,  dengan cara yang licik. Alih-alih mendapatkan ilmu agama yang benar, mereka malah diajari melakukan hal yang kejam. Ada kalanya pengikut jaringan tersebut tak sadar atau terlambat menyadari tindakannya itu salah.
Kata Ema, sapaan Ani Ema Susanti, hasil pendanaan itu sangat besar. Munir dari hasil pendanaan online bisa mengumpulkan Rp300 juta tiap bulan. Dana juga didapat dari masyarakat lewat sumbangan dari kaleng ke kaleng juga ada yang dari kebun kelapa sawit milik anggota jaringan.
Untuk membuat film dokumenter pendek ini perlu waktu lama bagi sutradara asal Jombang ini untuk mendekati Munir. Ia perlu delapan bulan agar Munir berani bercerita di hadapan kamera tentang pengalaman buruknya tersebut.
Selain bercerita tentang dua film tersebut, Ema juga membagikan pengalamannya membuat film dokumenter selama 15 tahun. Film dokumenter pertamanya Helper Hongkong Ngampus (2007) berhasil jadi finalis film dokumenter Eagle Awards. Film dokumenternya berikutnya Donor ASI berhasil raih piala Citra 2011 untuk kategori film dokumenter pendek.
Proyek berikut Ema, sutradara asal Jombang ini adalah Glo, Kau Cahaya yang direncanakan tayang di bioskop pada Maret mendatang. Ia juga tengah menggarap dokumenter Rossa untuk apresiasi 25 tahunnya di kancah musik Indonesia dan mancanegara.
Sesi kedua adalah film Atas Nama Percaya produksi CRCS UGM bekerja sama dengan berbagai pihak. Dilanjutkan dengan sesi diskusi perwakilan CRCS UGM, M. Rizal Abdi dengan masih dimoderatori Linda Erlina dari KOMiK.
Dalam film ini dikupas perjalanan para penganut kepercayaan di Indonesia yang sering mendapat tekanan dan intimidasi oleh kalangan tertentu di masyarakat. Mereka berjuang agar mereka diterima di masyarakat dan kepercayaannya diakui oleh negara. Ada dua penghayat yang banyak dibahas dalam film ini yakni penganut Marapu di Sumba Barat Daya dan aliran kebatinan perjalanan di Jawa Barat.
Acara Festival Kebhinekaan ini masih berlanjut hingga besok. Kalian bisa cek agenda acaranya di media sosial Wisata Kreatif Jakarta.
Salam Bhineka Tunggal Ika!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H