Kejar daku, kejar daku
biar kau kutangkap...Â
Komedi romantis jenis film yang banyak digemari. Namun tak semua berhasil merebut hati. Cerita yang menarik, arahan sutradara, dan akting yang apik menjadj kunci. Formula inilah yang membuat film Kejarlah Daku... Kau Kutangkap sukses pada masanya dan hingga kini masih laris diadaptasi.
Film Kejarlah Daku... Kau Kutangkap dibintangi Deddy Mizwar dan Lydia Kandou serta disutradarai Chaerul Umam. Film yang dirilis tahun 1986 ini meraih nominasi sembilan ketagori di Festival Film Indonesia 1986 dan berhasil membawa pulang dua di antaranya, Â skenario terbaik yang diraih Asrul Sani dan film komedi terbaik dengan piala Bing Slamet.
Film ini berkisah tentang kisah cinta antara Ramadan (Deddy Mizwar) dan Mona (Lydia Kandou) yang hubungannya diperkeruh oleh rekan kerja Mona bernama Marni (Ully Artha) dan paman Ramadan bernama Markum (Ikranegara).
Suatu ketika Ramadan, seorang wartawan, memotret Mona yang sedang bertanding voli. Potret Mona di koran itu membuat rekan kerja Mona menertawakannya.
Mona yang merasa malu lalu melabrak ke kantor tempat Ramadan bekerja ditemani Marni. Mereka mengancam akan melakukan tuntutan karena memotret tanpa ijin.
Atasan Ramadan lalu meminta Ramadan merayu Mona agar batal mengajukan tuntutan. Ternyata kemudian Ramadan dan Mona saling jatuh cinta. Mereka pun menikah. Namun banyak hal yang kemudian membuat hubungan mereka runyam, terutama nasihat-nasihat aneh dari si paman.
Karakter-karakter yang Tak Sempurna Menguatkan
Yang membuat film ini menarik karena tokoh-tokohnya tak digambarkan sempurna. Sosok Ramadan itu sosok yang praktis dan suka seenaknya. Ia juga mudah tersulut emosinya. Mulutnya suka berbicara pedas. Sedangkan Mona baru nampak gaya eksentriknya setelah keduanya menikah.
Hal-hal sederhana seperti Ramadan yang mengamuk karena Mona seenaknya menjual koleksi majalah lawasnya membuat tertawa geli. Hal semacam ini biasa ditemui di kehidupan keseharian pasangan suami istri. Adegan-adegan ketika mereka bertengkar dan kemudian saling gengsi meminta maaf juga terasa menggelitik.
Lagu-lagu dangdut dan pop ringan yang mengisi beberapa adegan memperkental nuansa Indonesia. Di film ini juga terlihat Bunderan HI dan jalanan Jakarta yang relatif masih lengang juga bus kota Jakarta yang penumpangnya berhimpit-himpitan hingga di dekat pintu ke luar.