Pada tanggal 17 November lalu ada dua film superhero Indonesia yang tayang, yakni Sri Asih dan Ashiap Man. Bedanya Sri Asih memang cerita superhero yang punya kekuatan betulan, sedangkan Ashiap Man merupakan kisah pemuda biasa bernama Zul yang sejak kecil ingin menjadi superhero dan mendapat julukan Ashiap Man.Â
Zul dan orang tuanya tinggal di kampung pinggir kali. Orang tuanya punya warung sembako dan berjualan pecel lele. Ketika Zul kecil, ia mendapat hadiah ulang tahun dari ayahnya berupa jubah dari kain penutup warung. Ia sangat senang dan bercita-cita menjadi superhero. Orang tuanya pun mengusulkan nama Ashiap Man, yang di sambutnya gembira.
Setelah bekerja mengantar galon air dan bekerja serabutan, Zul dewasa (Atta Halilintar) biasanya bermain berpura-pura jadi superhero. Ia terjun ke sungai dan memunguti sampah agar sungai tetap bersih. Warga kampung menyorakinya Ashiap Man dan menyebutnya pahlawan kampung.Â
Zul diam-diam suka pada Aisyah (Aurel Hermansyah), gadis yang mengelola rumah singgah. Ia sering pamer melakukan gerakan akrobatik dengan galon di depannya.Â
Kehidupan Zul dan warga sekitar yang damai pun diuji. Suatu ketika kampung mereka hendak digusur paksa.
Film Pahlawan Kampung yang Bikin Nyengir
Film Ashiap Man ramai diperbincangkan sejak tahun 2020. Film ini rencananya tayang di bioskop pada 2021, namun kemudian batal. Setelah sempat tertunda tayang beberapa kali di bioskop, akhirnya Ashiap Man bisa dinikmati di platform PrimeVideo sejak Kamis (17/11) silam.
Film ini merupakan debut Atta Halilintar di bangku sutradara. Ia mengajak keluarga Hermansyah dari Aurel, Ashanty, Arsy, dan Arsya. Â Pemerannya juga ada Yudha Keling, Nasya Marcella, Gritte Agatha, Marcelino Lefrandt, Arswendy Bening Swara Nasution, Yayan Ruhian, Nagita Slavina, dan Raffi Ahmad.
Awalnya saya menurunkan ekspektasi saya ketika menyaksikan film berdurasi 102 menit ini. Tapi rupanya filmnya tak begitu buruk. Filmnya masih bisa dinikmati, berkat latar ceritanya yang cukup membumi dan performa apik dari Arswendi Nasution sebagai ayah Zul.
Latar ceritanya bukan di rumah-rumah gedong dan kawasan mewah, melainkan perkampungan pinggir kali. Warganya orang-orang biasa dan gambaran Zul di sini juga sosok yang mudah dijumpai, orang yang naif dengan pola pikir yang juga sederhana.
Namun sayangnya ceritanya kemudian dibiarkan klise, padahal bagian pengenalannya sebenarnya sudah cukup lumayan baik. Ada banyak humor yang kurang berhasil memancing tawa dan malah terkesan berlebihan. Bagian ketika dua rekan Zul, Diana dan Jon mengeksploitasi kepolosan Zul dengan mencobai berbagai formula menjadi superhero seperti di film-film, terasa begitu berlebihan.Â
Konflik utama, pihak lawan, dan sosok penolong dari luar kampung juga terasa klise. Alurnya jadi seperti yang biasa ditemui di sinetron. Dialognya sebagian di antaranya juga bikin dahi berkerut. Saya jadi bersyukur film ini tidak tayang di bioskop karena kualitas ceritanya masih kurang wah.
Namun untuk debut sebagai sutradara dan aktor film panjang, Atta Halilintar juga patut diberikan dukungan. Kualitas gambarnya cukup lumayan. Gambarnya enak dilihat. Dengan banyaknya film Indonesia yang lebih banyak menonjolkan keglamoran, film yang mengangkat pahlawan biasa dari kampung pinggir sungai ini patut diapresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H