"Nenek dulu pintar sekali membuat kue-kue tradisional. Nenek bikin sendiri kue wajik, gula kelapa, Â kelepon, dan kue lumpur. Ibu dulu waktu kecil juga bantu menjualnya." Â Ibu sepertinya tahu aku akan menggerutu soal ini.
Kue-kue basah buatan nenek banyak disukai. Kuenya selalu segar, aroma dan penampilannya juga mengundang selera. Nenek selalu ingin agar makanan yang dibuatnya membuat mereka yang menyantapnya merasa bahagia.
"Kue-kue basah ini semuanya punya filosofi masing-masing, Nisa. Kamu akan makin jatuh hati dengan kuliner nusantara jika memahami filosofi kue-kue tersebut," cerita Ibu
Aku sebenarnya masih tak paham dengan filosofi kue, seperti kue apem yang untuk menunjukkan rasa syukur dan tolak bala. Warna dan bahan kue juga kata ibu tak sembarangan.
Memang membuat kue tradisional memerlukan kesabaran. Aku harus telaten mengaduk wajik agar matang dan tak menggumpal. Panas. Tapi aroma wajik dengan gula merah memang menggoda.
Baru beberapa jam kemudian kue-kue basah itu selesai dibuat. Bajuku sudah basah oleh keringat. Tak sedikit kue yang gagal karena perbuatanku. Namun ibu tak mempermasalahkannya karena ini pengalaman kali pertamaku.
"Coba kuenya Nisa. Kamu pasti menyukainya."
Aku menuruti kata-kata ibu. Kusantap perlahan kue lumpur yang masih hangat. Ibu menambahkan kelapa muda di dalamnya, di atasnya ditambahkan kismis, sehingga ada pengalaman unik ketika menyantapnya. Kue lumpur ibu harum dan lembut.
"Ibu, kuenya enak sekali." Ibu hanya tersenyum menanggapiku.
Kue-kue basah ini semuanya enak. Aku jadi terharu dan gembira menyantapnya. Namun, sebenarnya memasak bersama ibu itu yang paling menyenangkan.