Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pesan Toleransi dalam Cahaya dari Timur: Beta Maluku

22 Agustus 2022   19:54 Diperbarui: 22 Agustus 2022   20:01 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap sore Sani mengajak anak-anak berlatih sepak bola agar mereka tak terseret konflik Maluku (sumber gambar:Visinema dalam Tabloid Bintang) 

"Tunjukkan pada mereka semua bahwa kita satu. Kita orang Maluku yang tidak mudah menyerah." - Sani Tawainella ("Cahaya dari Timur: Beta Maluku")

Konflik berdarah yang pernah terjadi di Kepulauan Maluku memang merupakan cerita kelam yang pernah terjadi di bumi Indonesia ini. Namun, di situasi yang kelabu tersebut masih ada api cahaya yang disulut oleh Sani Tawainella lewat permainan sepak bola. Kisah yang diadaptasi dari peristiwa nyata ini dilukiskan dalam film "Cahaya dari Timur: Beta Maluku".

Adalah Sani Tawainella (Chicco Jericho), seorang mantan pemain sepak bola yang tidak beruntung berkiprah di jalur profesional. Ia kemudian terpaksa menjadi tukang ojek demi menghidupi anak istrinya.

Suatu ketika ia dihadapkan pada situasi konflik Maluku. Ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa mengerikan dan menyedihkannya sesama Maluku saling bertikai. Konflik tersebut meluas hingga ke daerah tempat tinggalnya di Tulehu.

Demi melindungi anak-anak Tulehu agar tidak terseret oleh konflik, ia mengajak mereka untuk berlatih sepak bola. Tidak mudah untuk berkomitmen melatih mereka setiap hari karena ia dan kawannya melakukannya secara sukarela, tanpa dibayar. Hingga suatu ketika ada peluang besar, namun mereka dihadapkan oleh sejumlah permasalahan.

Berdasarkan Kisah Nyata
Konflik berdarah Maluku menyisakan luka dan cerita kelam. Aku ingat waktu itu ada anak baru di kelasku yang merupakan pengungsi dari Ambon. Ia bercerita betapa seramnya situasi masa itu sehingga semua keluarganya terpaksa mengungsi.

Di Surabaya saat itu ada beberapa kelompok yang berupaya memanas-manasi situasi. Mereka berupaya membawanya ke konflik agama dan menyebutnya sebagai perang jihat. Untungnya tak banyak yang terprovokasi. Sungguh betapa seramnya jika Indonesia diadu domba lewat isu SARA. Semoga tak ada lagi konflik yang dipicu oleh SARA.

Setiap sore Sani mengajak anak-anak berlatih sepak bola agar mereka tak terseret konflik Maluku (sumber gambar:Visinema dalam Tabloid Bintang) 
Setiap sore Sani mengajak anak-anak berlatih sepak bola agar mereka tak terseret konflik Maluku (sumber gambar:Visinema dalam Tabloid Bintang) 

Oleh karenanya ketika menyaksikan film yang dirilis tahun 2014 ini aku salut dengan perjuangan Sani dkk yang berupaya melindungi anak-anak di daerahnya dari konflik, lewat permainan sepak bola. Anak-anak dibuatnya fokus berlatih, belajar disiplin, dan belajar menjadi satu tim, sehingga mereka tidak tertarik untuk ikut campur dalam soal konflik.

Kental dengan Pesan Toleransi

Ada banyak hal menarik yang bisa disimak dari film ini. Yang pertama tentunya perjuangan Sani dan kawannya untuk berkomitmen melatih. Bertahun-tahun mereka melatih tanpa dibayar. Sani dalam film digambarkan sering menerima kata-kata pedas istrinya karena terlilit oleh utang di warung. Sani meski bekerja keras dari pagi hingga waktu latihan sebagai pengojek, tak pernah bisa bawa uang yang cukup.

Hal menarik kedua adalah semangat anak-anak Tulehu. Mereka kebanyakan dari keluarga yang kekurangan. Mimpi menjadi pemain sepak bola dan kecintaan mereka terhadap bola membuat mereka memiliki harapan untuk mengubah nasib. Selama bertahun-tahun mereka berlatih, seringnya di pantai, dengan fasilitas yang sangat terbatas. Namun kemudian dedikasi dan semangat mereka terbayar.

Hal menarik berikutnya adalah semangat toleransi. Inilah pesan kuat dalam film ini. Meski ada banyak provokasi dan konflik coba dikaitkan dengan agama, namun masih banyak yang sadar akan pentingnya persatuan sebagai sesama Maluku. Tulehu kebanyakan adalah muslim dan Passo mayoritas adalah nasrani. Sani membantu menjembatani mereka lewat sepak bola. Ia bersedia ikut melatih anak-anak dari Passo dan kemudian menggabungkannya dengan tim dari Tulehu.

Sani dianggap sosok yang bisa menjembatani antara komunitas Islam dan Nasrani sehingga terpilih jadi pelatih (sumber gambar: Visinema/Indozone) 
Sani dianggap sosok yang bisa menjembatani antara komunitas Islam dan Nasrani sehingga terpilih jadi pelatih (sumber gambar: Visinema/Indozone) 


Memang ceritanya tak persis sama dengan kehidupan Sani. Ada beberapa yang didramatisir agar pesan utama dalam film ini lebih tersampaikan. Namun poin-poin utama dari film ini memang nyata. Anak-anak bimbingan Sani kemudian terbukti berhasil menjadi pemain sepak bola profesional.

Pesan yang kuat dan performa apik dari Chicco Jericho membawa film besutan Angga Dimas Sasongko ini meraih dua piala Citra, film terbaik dan pemeran utama pria terbaik.

Sebagian besar pemain memang berdarah Maluku. Menariknya lagi dialog dalam film ini kental dengan penggunaaan bahasa daerah setempat, sehingga sedikit-sedikit penonton bisa mengenal kosakata dan dialek Maluku.

Film semakin menawan dengan sinematografi yang memanjakan mata, juga lagu-lagu yang memiliki unsur Islami dan juga lagu Nasrani. Sebuah film yang membuatku bangga dan haru. Skor: 8/10.

Hingga saat ini Sani terus aktif membina sepak bola Maluku (sumber gambar: Bola.com) 
Hingga saat ini Sani terus aktif membina sepak bola Maluku (sumber gambar: Bola.com) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun