Hal menarik kedua adalah semangat anak-anak Tulehu. Mereka kebanyakan dari keluarga yang kekurangan. Mimpi menjadi pemain sepak bola dan kecintaan mereka terhadap bola membuat mereka memiliki harapan untuk mengubah nasib. Selama bertahun-tahun mereka berlatih, seringnya di pantai, dengan fasilitas yang sangat terbatas. Namun kemudian dedikasi dan semangat mereka terbayar.
Hal menarik berikutnya adalah semangat toleransi. Inilah pesan kuat dalam film ini. Meski ada banyak provokasi dan konflik coba dikaitkan dengan agama, namun masih banyak yang sadar akan pentingnya persatuan sebagai sesama Maluku. Tulehu kebanyakan adalah muslim dan Passo mayoritas adalah nasrani. Sani membantu menjembatani mereka lewat sepak bola. Ia bersedia ikut melatih anak-anak dari Passo dan kemudian menggabungkannya dengan tim dari Tulehu.
Memang ceritanya tak persis sama dengan kehidupan Sani. Ada beberapa yang didramatisir agar pesan utama dalam film ini lebih tersampaikan. Namun poin-poin utama dari film ini memang nyata. Anak-anak bimbingan Sani kemudian terbukti berhasil menjadi pemain sepak bola profesional.
Pesan yang kuat dan performa apik dari Chicco Jericho membawa film besutan Angga Dimas Sasongko ini meraih dua piala Citra, film terbaik dan pemeran utama pria terbaik.
Sebagian besar pemain memang berdarah Maluku. Menariknya lagi dialog dalam film ini kental dengan penggunaaan bahasa daerah setempat, sehingga sedikit-sedikit penonton bisa mengenal kosakata dan dialek Maluku.
Film semakin menawan dengan sinematografi yang memanjakan mata, juga lagu-lagu yang memiliki unsur Islami dan juga lagu Nasrani. Sebuah film yang membuatku bangga dan haru. Skor: 8/10.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H