Setiap lebaran ada sesuatu yang kutunggu. Kiriman kartu lebaran. Jaman dulu rasanya menyenangkan mendapatkan kartu lebaran dari kawan-kawan. Kami bertiga menghitungnya dan membandingkannya. Ayah yang paling banyak mendapatkannya. Pengirimnya bukan hanya dari teman-teman ayah sesama muslim, namun ia juga banyak menerima dari teman-temannya yang nonmuslim.
Aku juga sama. Ada beberapa kawanku yang Nasrani yang mengirimkan kartu lebaran kepadaku. Aku dengan gembira menerimanya dan menyimpannya.
Berkirim kartu menjadi agenda kami tahunan hingga aku duduk di bangku kuliah. Setiap Ramadan, kami berburu kartu lebaran yang menarik dan lucu-lucu. Ada kalanya aku dan kakak membuatnya sendiri.Â
Biasanya ayah dan kakak laki-laki hanya nitip ke kami. Kalau ayah, karena banyak dikirim ke kolega dan saudara-saudaranya yang jauh, maka kartu lebarannya berkesan formal. Sedangkan aku suka yang gambarnya lucu-lucu. Baru saat SMA, aku membuat kartu lebaran dengan tema X-Files hahaha.Â
Proses berkirim kartu lebaran dan menerimanya itu adalah momen yang menyenangkan. Setelah duduk di bangku kuliah, aku makin jarang mendapatkannya. Orang-orang lebih menyukai berkirim ucapan secara elektronik daripada berkirim kartu.
Jika pada lebaran, kami juga mendapat kartu-kartu dari kawan-kawan kami yang nonmuslim, maka pada menjelang Natal, kami gantian mengirimkannya. Kami dan ayah memilih-milih kartu Natal dan mengirimkannya ke kawan-kawan kami yang merayakannya.
Dibesarkan di Tempat yang Plural
Aku beruntung dibesarkan di lingkungan tempat tinggal yang plural. Meskipun kampung kami didominasi muslim, namun tetangga sebelahku berdarah tionghoa yang beragama konghucu. Tetangga kananku adalah nasrani, dan juga ada tetangga lainnya yang beragama hindu.
Jika menjelang Ramadan dan lebaran, kami juga memberikan hantaran makanan ke mereka. Mereka kemudian juga biasanya singgah ke rumah kami untuk mengucapkan selamat Idul Fitri.
Sedangkan pada acara seperti Imlek, giliran kami yang mendapat kiriman. Kami dapat kue keranjang dan ketika merayakan Cap Goh Meh, kami juga mendapatkan kiriman lontong opor alias lontong Cap Goh Meh.
Saat tetangga merayakan Natal, juga ada yang mengirim kue-kue ke kami. Kami sih senang-senang saja menerimanya.
Ya, ketika kami memberikan kartu ucapan hari raya atau mendapatkan kue-kue dari mereka, kami mengucapkan dan menerimanya dengan tulus sebagai kawan dan sahabat. Tidak ada dalam pemikiran kami bahwa hal tersebut menganggu akidah atau mengurangi keimanan kami terhadap keyakinan yang kami anut. Itulah bentuk toleransi antar umat beragama yang diajarkan oleh keluarga kami.Â
Memiliki Teman-teman Beragam Latar itu Menyenangkan
Dibesarkan di lingkungan yang plural membuat kami mudah bergaul dan tak membeda-bedakan kawan. Saat SMA, aku punya kawan dekat beragama katholik. Setiap kali adzan, ia selalu mengingatkanku untuk segera beribadah. Jika sedang main atau belajar kelompok di rumahnya, ia juga mengijinkan kamarnya untuk kugunakan sejenak untuk beribadah.
Saat kuliah, di genk kami juga ada kawan yang beragama buddha dan juga merayakan Imlek. Kami saling bertukar ucapan hari raya. Kami mengucapkan selamat Waisak dan Imlek, ia juga membalas dengan ucapan selamat berpuasa dan merayakan lebaran.
Menurutku toleransi  antar umat beragama juga ergaul tanpa membedakan latar agama dan sukunya itu penting di negeri kita yang majemuk ini. Kita tidak bisa hanya bergaul dengan sesama penganut karena dalam lingkungan kita juga terdiri dari masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda. Juga tidak ada yang tahu kapan kita minta pertolongan kepada mereka, bukan?!Â
Dalam lingkup satu agama sendiri juga ada beragam aliran dan perbedaan. Misalnya ada yang menggunakan doa Qunut atau tidak saat sholat Subuh, tarawih 8 atau 20 rakaat, melakukan tahlilan atau tidak, dan lainnya. Perbedaan itu wajar dan menurutku tidak masalah, asal kita saling menghargai dan tidak menganggap yang paling benar.Â
Dengan toleransi beragama, menghormati dan membiarkan mereka melakukan ibadah sesuai keyakinan masing-masing, maka akan tercipta lingkungan dan kehidupan yang harmonis. Akan lebih baik bila toleransi beragama ini diajarkan sejak kecil, sehingga sedari kecil anak-anak bisa menerima perbedaan dan menyadari keindahan bangsa kita yang majemuk ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI