Jalan panjang
Semakin lapang
Hanya dahan kering yang  terpanggang
Tak ada teman
Telah terpencar
Namun waktu terus berputar...
Tembang berjudul "Kosong" ini dulu sering diputar di MTV dan radio. Siapa nyana lagu yang albumnya masuk 150 album Indonesia terbaik versi Rolling Stone Indonesia ini dibuat dadakan selama beberapa hari untuk memanfaatkan sisa durasi pita, yang saat itu sangat mahal. Cerita intim tentang band indie asal Bandung ini tersaji dalam buku biografinya "Pure Saturday: Based on a True Story.
Aku mengenal band satu ini karena majalah Hai kerap mempromosikan mereka sebagai salah satu pelopor band indie di Indonesia. Awalnya ada yang menggolongkan ke musik Britpop dan genre alternatif yang pada tahun-tahun tersebut begitu populer, mungkin seperti gelombang KPop saat ini.
Tapi jika diperdengarkan, tembang "Kosong" ini memiliki nuansa grunge ala Seattle dengan adanya distorsi gitar. Gaya bernyanyi vokalisnya di lagu ini mengingatkanku pada band-band Inggris seperti Blur.
Lagu ini satu-satunya tembang milik Pure Saturday yang masih sering kuperdengarkan hingga saat ini, meski tembang-tembang lainnya dalam album perdananya juga tak kalah menarik.
Mendengarkan lagu "Kosong" seperti memutar kembali waktu, era genre musik alternatif dan Britpop yang menyerbu dunia musik, termasuk di Indonesia. Pure Saturday sendiri nampaknya lebih suka disebut band indie, dengan gaya bermusik mereka yang bebas, tak ingin begitu dikotak-kotakkan, juga metode pemasaran album mereka yang saat itu lebih banyak dikelola sendiri. Mereka juga tidak di bawah label rekaman besar.
Ketika menemukan buku ini di rak buku Gramedia daring, aku langsung tertarik. Buku ini ditulis oleh Idhar Resmadi dan dirilis tahun 2019 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, untuk memperingati 25 tahun Pure Saturday eksis di kancah musik Indonesia.
Ada sembilan bab di sini  diawali dengan pembentukan band yang bermula di Gedung Cokelat. Gedung ini merupakan markas dan tempat nongkrong mereka, gudang kosong ini bekas pabrik gitar, hanya bertutup seng. Disebut Gudang Cokelat karena di tempat ini banyak debu dari serutan kayu. Selama satu dekade mereka berlatih dan bermain musik di gudang yang disulap menjadi semacam studio ini.
Sebelum bernama Pure Saturday, band mereka bernama Tambal Band. Personelnya ada Suar Nasution (gitar, vokal) Â Arief Hamdani (gitar), Nova (bas), Yudhistira 'Udhi' Ardinugraha (drum), dan Adhitya 'Adhi' Ardinugraha (gitar). Mereka banyak terpengaruh band seperti The Cure, Marillion,The Police, Ride, Oasis, Blur, Pearl Jam, Weezer, dan The Smiths.
Awalnya mereka hanya sering tampil di acara sekolah dan festival. Hngga suatu ketika Dewi 'Dee' Lestari mengajak mereka mengikuti Festival Musik Unplugged, seJawa dan DKI Jakarta. Tak dinyana meski tanpa banyak persiapan, band mereka jadi juara. Dengan nama baru menjadi Pure Saturday, pintu mereka ke kancah musik nasional pun terbuka lebar.
Tentang alasan pemilihan nama Pure Saturday sendiri ternyata sederhana. Mereka malu mendaftar festival dengan nama Tambal Band. Selain itu, hari Sabtu ibarat hari keramat mereka. Pada hari tersebut itulah mereka berkumpul. Â
Oleh karena para personelnya kemudian melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda-beda, maka ada pergantian personel. Nova digantikan Ade Purnama di posisi bas.
Dee Lestari adalah sosok yang dekat dengan mereka dan berkontribusi ke karier mereka. Ia yang memasukkan lagu mereka, "I Wish" ke radip GMR Bandung. Sambutan pendengar positif, sehingga band mereka kemudian dikenal di kalangan undeground Bandung.
Proses perekaman dan distribusi secara indie ini terinspirasi dari kesuksesan PAS Band. Pada akhir 1994 mereka pun merekam tujuh lagu di Studio Triple X. Ada "Silence", "Simple", "Cokelat", "Enough", "Desire", "A Song", dan "Open Wide". Oleh karena masih ada sisa durasi pita sekitar empat menitan, mereka pun kemudian melakukan jamming, hingga suatu ketika Suar meminta Ade menulis liriknya karena ia telah menemukan musiknya. Â Ade kemudian membuat lirik tentang kesendirian yang kemudian diberikan judul "Kosong".
Lagu mereka yang wira-wiri di radio dan MTV membuat nama mereka dikenal luas. Majalah Hai juga membantu penjualan album mereka. Nama mereka memuncak pada tahun 1996-1997.
Namun ujian kemudian datang. Mereka dihadapkan sejumlah problema, para personel yang kewalahan dengan kuliahnya, Gedung Cokelat yang dibongkar, hingga respon pasar yang kurang baik terhadap album kedua, "Utopia, yang dianggap terlalu gelap dan kurang komersial.
Jujur awalnya kupikir Pure Saturday hanya one hits single, aku tak tahu album lainnya selain album "Self Titled" mereka alias album perdana. Oleh karenanya ketika membaca buku ini aku jadi banyak tahu bagaimana problema yang umumnya dialami band saat itu, masalah band yang  personelnya masih kuliah, hubungan dengan label dan para fans, juga lainnya.
Buku ini intim dari sisi Pure Saturday sebagai band. Namun, penulisnya kurang mengeksplorasi karakter dan keseharian tiap-tiap personelnya. Juga tidak ada sudut pandang dari sisi label, pihak majalah Hai yang membantu mendistribusikan album kaset mereka, dan juga fans mereka yang setia.
Namun setidaknya buku ini mengisi kekosongan buku tentang biografi band yang jarang ditemui. Tentunya perlu kerja keras dan wawancara intens untuk mendapatkan cerita yang lengkap dari awal band ini berdiri.
Di bagian-bagian halaman terakhir dari buku setebal 232 halaman ini diisi banyak foto personel dan ketika band ini manggung. Hingga saat ini Pure Saturday merilis lima album dan dikenal sebagai salah satu pelopor band indie tahun 90an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H